Dr. Muhammad Nasir, M.Si
Polisi. Sebagai sebutan atau
sebuah nama, “mungkinkah” orang tidak mengenal sebutan atau nama tersebut. Polisi,
baik itu sebutan kepada lembaga ataupun orangnya mulai dari anak kecil hingga
orang jompo akan mengerti dan mengenal sebutan polisi tersebut. Tapi apa yang
dipahami tentang polisi. Tidak semua orang memahami polisi dengan sebenarnya.
Hanya dilihat dari dua sisi polisi baik dan polisi buruk, itulah fakta empiric
ditengah masyarakat.
Pada saat masih kecil seusia balita, ketika anak susah
makan, anak yang nakal (aktif) atau bahkan anak yang menangis berkepanjangan
selalu menyebut polisi untuk menghentikannya. “awas ada polisi, ayoo makan,” “jangan
nakal” atau “sudah berhenti nangisnya, nanti ada polisi lho”. Ucapan dan ungkapan
tersebut tidak bisa dilupakan karena hal tersebut terjadi berulang dari
generasi ke generasi berikutnya, dan mungkin hingga hari ini. Lalu apa yang
dipahami dengan “polisi” itu sendiri.
Kekinian mungkin sudah mulai berkurang kalimat tersebut
terlontar dari masyarakat, karena gencarnya polisi memperbaiki diri dan
sosialisasi ke masyarakat tentang polisi dengan fungsi dan peran yang
sebenarnya. Namun memang itu belum cukup dan mampu memberi pemahaman kepada
warga masyarakat secara komprehensif, karena polisi mempunyai banyak pengalaman
dan asam garamnya dalam dinamika organisasi yang telah di jalaninya. Polisi
sebagai sebuah Instansi Pemerintah memang mempunyai peran yang penting dan
menjadi icon dalam eksistensi sebuah
Negara.
Sebagai Instansi Pemerintah polisi selalu menjadi bagian
dalam perubahan system pemerintahan. Karena untuk mendukung kebijakan
pemerintah dalam implementasinya selalu dilibatkan sebagai control social,
apakah kebijakan tersebut sampai ke tengah masyarakat dalam implementasinya.
Perubahan system pemerintahan yang terjadi ketika masa Orde Baru berganti dalam
transisi pemerintahan Indonesia dari Orde Baru ke pemerintahan Reformasi tahun
1999 pasa masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid eksistensi polisi yang semula
berada di dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berubah menjadi
independen sesuai dengan fungsi dan perannya. Hal tersebut ditandai dengan
terbitnya Ketetapan MPR RI Nomor VI tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI.
Dengan dasar itulah yang kemudian terbit tentang Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 89/2000 tertanggal 1 Juli
2000 tentang pemisahan Polri dari militer dan berada di bawah Departemen
Pertahanan dan Keamanan. Yang kemudian di susul dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dengan
terbitnya paying hukum tersebut polisi harus menyiapkan diri baik perubahan
structural, kultural dan instrumental untuk menjaga fungsi dan perannya sebagai
penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di samping tiu polisi juga harus
melakukan pengawalan terhadap situasi masyarakat dari berbagai kebijakan
pemerintah. Oleh karenanya seketika itu juga maka polisi menjadi garda terdepan
yang digunakan dalam pengawal kebijakan Negara, baik dalam kebijakan yang
popular maupun sebaliknya karena menyangkut situasi masyakat yang menjadi obyek
dalam kebijakan tersebut. System pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa
atau pimpinan negara dalam berbagai kebijakannya selalu tidak diiringi dengan
implementasi yang menimbulkan kebaikan maupun konflik dari kebijakan tersebut.
Oleh karenanya maka kealfaan tersebut akan menjadi bagian situasi masyarakat dalam
tugas polisi di tengah masyarakat.
Sebuah momen dijalan mungkin sering dilihat sebagai
sebuah gambaran pemerinah dengan melihat sosok polisi di lapangan. Polisi yang
tergelar di lapangan dalam melakukan penjagaan dan pengamanan khususnya yang
berseragam tentu sangat tampak dan berbeda dengan masyarakat secara umum.
Pertama melihat dengan seragam yang dikenakan sangat mencolok dan berbeda
dengan masyarakat lainnya, karena ada symbol-simbol lain yang dikenakan sebagai
petugas polisi. Begitu juga terkait dengan posisi polisi dalam melakukan
penjagaan dan pengamanan selalu berada ditempat yang terbuka dan membawa
atribut dan perlengkapannya. Karena dalam penjagaan dan pengamanan selalu ada
ancaman yang mengarah pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
Dalam tempat yang berbeda polisi juga melakukan tindakan
kepolisian yang berupa penegakkan hukum. Dalam penegakkan hukum selalu disertai
dengan penangkapan[1]
seseorang yang diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup[2] sebagai pelaku tindak
pidana. Tindakan polisi dalam penegakkan hukum mempunyai dua aspek yang
merugikan dan menguntungkan bagi masyarakat. Sebagai pelapor atau korban tindak
pidana selalu berharap pelaku tindak pidana dapat segera ditangkap dan diadili
dengan hukuman yang seberat-beratnya. Secara manusiawi dalam lingkungan
masyarakat keinginan tersebut tidak berlebihan dan sangat mendukung penangkapan
pelaku tindak pidana tersebut. Kegiatan-kegiatan dalam tindakan polisi dalam
melakukan penegakkan hukum mulai dari penangkapan, penggeledahan dan penyitaan menimbulkan
rasa ketidaknyamanan dan hubungan kausalitas dari pihak korban dan tersangka[3]. Karena memang membwa
dampak dan dua sisi yang saling berlawanan, sehingga memerlukan pemahaman yang
komprehensif dan kesadaran hukum bagi masyarakat.
Tetapi
disisi lain keluarga pelaku tindak pidana (tersangka) selalu mengecam tindakan
yang dilakukan polisi tersebut. Karena dianggap penangakapan tersebut
menciderai dan melukai hati keluarga tersangka. Apalagi dikaitkan dengan
ekonomi. Karena dianggap pelaku tindak pidana sebagai tulang punggung ekonomi
keluarga, untuk menafkahi istri anak dan bahkan biaya pendidikan dan lain
sebagainya. Dengan kondisi tersebut dua sisi berlawanan dalam pelayanan
masyarakat yang harus dilakukan dengan bijak oleh seorang polisi yang
memerlukan perlakukan yang harus mengayomi dua sisi yang saling berlawanan.
Memang
tidak mudah menggambarkan sosok polisi dengan sudut pandang melihat polisi.
Dari sudut masyarakat secara umum polisi adalah pelayan masyarakat dalam
menjaga keamanan dan ketertiban ditengah masyarakat. Bagi kelompok masyarakat
yang melihat polisi dari keluarga korban tindak pidana, maka akan menilai
polisi dari menangkap tersangka yang melakukan pidana terhadap orang tersebut.
Sedangkan dari sudut pandang kelompok tersangka maka memandang polisi sebagai
musuh yang harus dimusnahkan.
Dari beragam pandangan tersebut, tentu polisi dilihat
secara subyektif, siapa dan dari mana mereka menilai sosok polisi. Secara
profesionalitas sebagaimana tugas pokok fungsi dan peran keberadaan polisi
harus dapat memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat serta
tindakan penegakkan hukum. Secara ungkapan memang hanya empat point sebagai
kata kunci perlindungan, pengayoman, pelayanan dan penegakkan hukum. Esensi
dari empat kata kunci tersebut bukan semudah membalikan tangan, karena
mempunyai artikulasi yang sangat luar dan memerlukan pemahaman secara
structural, kultural dan kekinian. Mungkin dulu semasa polisi dalam
pemerintahan yang otoriter masa Orde Baru mudah menekan kondisi masyarakat
dengan kekuatan senjata dan otoritas kekuasaan. Tapi kondisi tersebut bukan
sebuah kinerja yang tepat untuk saat ini. Perlu berbagai metode dan strategi
dalam menjalan fungsi kepolisian dengan baik dan optimal.
[1]
UU nomor 8 Tahun 1981, pasal 1 (20) Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
[2]
Penjelasan UU nomor 8 Tahun 1981, Pasal 17 Yang dimaksud dengan "bukti
permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak
pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa
perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi
ditujukan kepada mereka yang betu-betul melakukan tindak pidana
[3]
UU no 8 Tahun 1981, pasal 1 (14) Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar