Selasa, 16 November 2010

ANALISIS SISTEM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA



Muhammad Nasir



1. Pendahuluan

Salah satu raison d’etre dari kehadiran negara adalah menjamin keamanan warga negara. Oleh karenanya pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan tujuan itu. Sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Sebagai konsekuensi logis dari pentingnya keamanan nasional, maka negara membentuk instrumen utama pelaksana manajemen keamanan yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polri melaksanakan fungsi utama sebagai unsur pemerintah yang melaksanakan pelayanan publik dibidang keamanan.

Perkembangan Polri memperlihatkan masih banyaknya intervensi kekuasaan dalam implementasi fungsinya dalam kehidupan bangsa dan negara. Intervensi kekuasaan yang mencolok terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa. Di mana institusi Polri melalui pengangkatan Chaeruddin Ismail sebagai Wakapolri, kemudian sebagai Pejabat Kapolri oleh Presiden tanpa melalui mekanisme yang lazimnya yakni melalui proses Wanjakti dan persetujuan atau fit and proper test DPR terlebih dahulu. Tetapi dijadikan Presiden untuk usaha mempertahankan kekuasaan. Saat itu Presiden sedang menghadapi ancaman impechment. Demikian pula pada masa Presiden Megawati di mana saat kampanye menjelang Pilpres terjadi kampanye oleh beberapa oknum pejabat wilayah Polri, di Jawa Barat. Intervensi kekuasaan itu merupakan hal yang biasa dalam penyelenggaraan negara. Di berbagai negara, intervensi itu masih seringkali terjadi. KGB Uni Sovyet digunakan untuk kepentingan partai komunis, Polisi Diraja Malaysia dipergunakan sebagai alat kekuasaan Kerajaan, Kepolisian Afrika untuk kepentingan politik Apartheid, Jepang kepolisianya berorientasi politik dan lainnya.

Kepolisian kita yang dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk melayani penjajah Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung, baik manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak Belanda. Pendudukan Belanda, Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite pribumi. Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap sama, meskipun sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi. Perbedaannya hanya pada penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi pribumi boleh menggunakan senjata api. Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk menggunakan senjata secara resmi. sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur Belanda saja yang boleh menggunakan senjata api.

Pemberian pendidikan dan pengetahuan serta pelatihan tentang teori-teori kepolisian secara umum sedikit sekali diberikan pada polisi pribumi. Namun pasca kemerdekaan baru mengintegrasikan diri kedalam sistem birokrasi bangsa Indonesia.pelembagaan badan kepolisian pasca masa penjajahan masih mengalami tekanan sejalan dengan perjuangan suku bangsa di nusantara dan menjelang kemerdekaan RI agustus 1945, PPKI merumuskan lembaga kepolisian pada kementerian dalam negeri, dengan mengacu kepada de dienst der algemene politie karena menurut Bambang W Umar, belum tersedia sistem yang sesuai dengan ketatanegaraan Indonesia untuk melandasi bekerja polisi. Karena itu pada saat kemerdekaan posisi Polri belum jelas eksistensinya dalam kementerian.

Pada masa Orde lama, dengan Keppres No 290/1964, 12 November 1964, Polri diintegrasikan dalam ABRI. Polri justru menjadi ujung tombak penjaga stabilitas politik. Integrasi polri dalam politik Orde Baru mengakibatkan; (a) ideologi militer sangat kuat dalam sistem pendidikan dan manajemen. (b) pengorganisasian yang sentralistik. (c) komunitas polisi lebih lekat kepada militer daripada komunitas kepolisian.

Salah satu tuntutan masyarakat pada awal reformasi adalah diperlukannya reformasi mendasar di dalam institusi kepolisian.lembaga yang relatif cepat mengalami reformasi pasca Orde Baru adalah Polri. Perubahan itu dimulai dengan momentum bersejarah pemisahan Polri dari TNI pada 1 April 1999. Polri adalah lembaga pemerintahan negara yang berfungsi sebagai penanggung jawab masalah keamanan, sementara TNI merupakan lembaga negara yang mempertahankan negara dari ancaman luar. Dalam konteks ini, berdasarkan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara hanya mengenal istilah “keamanan dan ketertiban masyarakat” dan keamanan dalam negeri.

Pertimbangan filosofis yang mendasari kebijakan pemisahan Polri dari ABRI adalah perbedaan fungsi kepolisian dengan militer (TNI). Militer ditujukan untuk keselamatan, keutuhan dan kedaulatan negara, sedang fungsi kepolisian ditujukan untuk menjamin ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Dari segi obyek militer ditujukan untuk keamanan negara, sementara Polri untuk keamanan individu, masyarakat dan pemerintah. Perbedaan mendasar tugas polisi dan tentara terletak pada; polisi berdasarkan aturan hukum yang sudah pasti, sedangkan tentara berdasarkan keputusan politik. Meskipun Farouk kurang sependapat dengan gagasan yaitu pemisahan itu semata-mata karena faktor intervensi ABRI dalam melaksanakan tugas operasional Polri. Pada sisi lainnya, Awaluddin Djamin melihat intervensi ABRI selama Orde Baru sebagai faktor pendorong pemisahan Polri dari ABRI.

Perubahan itu ternyata tidak mencakup aspek politik, tetapi juga hampir berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Polri perubahan itu tidak hanya menyangkut upaya peningkatan pelayanan Polri kepada masyarakat, tetapi menuntut Polri sebagai pengawal, mengingat kepolisian merupakan aparatur pemerintah yang selama 24 jam sehari melakukan kontak dengan masyarakat. Polri tuntut sebagai pelindung HAM dan human security .

Pasca pemisahan dari TNI (dahulu ABRI), sementara Polri berada di bawah Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Kemudian dalam perkembangannya, Polri berada di bawah Presiden, selaku pemegang mandat politik langsung dari rakyat Indonesia. Dengan posisi seperti itu, menurut paparan Kapolri baru-baru ini bahwa dengan di bawah Presiden, maka Polri akan dapat mengikuti langsung perkembangan situasi nasional, dan melakukan tindakan pengamanan secara cepat terhadap berbagai ancaman keamanan dalam negeri. Dalam sejarahnya, menurut Awaluddin Djamin, keberadaan Polri yang langsung di bawah Presiden dalam sistem dan administrasi negara RI sudah ada sejak puluhan tahun dan diberi sebutan lembaga pemerintah non departemen, seperti juga Bakin, Lan, BKN, BKKBN, BKPM dan BPS.

Mengenai posisi dan kedudukan Polri masih menjadi persoalan tersendiri dikalangan Polri. Kedudukan Polri dibawah Presiden menimbulkan kekhawatiran dari banyak kalangan akan intervensi kekuasaan Presiden. Sehingga dipandang lebih baik di bawah departemen. Menurut Farouk gagasan itu tidak memecahkan masalah, karena akan semakin memperkuat status Polri bukan sebagai instrument of law tetapi menjadi instrument of policy, suatu perangkat departemen-departemen yang pembentukan dan pembubaranya merupakan hak prerogatif Presiden. Jika kekhawatirannya bahwa Presiden merupakan penguasa politik, maka di bawah departemen pun sama adanya. Berbeda dengan TNI di bawah departemen pertahanan yang hanya sebatas pembinaan kekuatan, sebagai aktivitas harian militer. Sedangkan Polri adalah institusi sehari-hari melaksanakan aktivitas operasional tanpa menunggu perintah dari siapapun (selalu berdasarkan hukum) sehingga setiap saat menggunakan kekuatan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola manajemen keamanan negara, Polri harus betul-betul menjadi lembaga yang mandiri, bebas dari intervensi lembaga negara lainnya.Bila misalnya suatu penyelidikan perkara korupsi atau kejahatan apapun, tidak boleh ada intervensi oleh atasan atau unsur kekuasaan lainnya. (Djamin, 1999). Diakui oleh kalangan Polri maupun kalangan masyarakat luas bahwa dengan ditempatkan Polri di bawah naungan TNI, maka bukan saja perilaku aparatur Polri yang mengikuti gaya militerisme tetapi juga menghambat fungsi utamanya dalam mengungkap berbagai kasus keamanan, termasuk penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparatur negara yang lainnya. Sistem pendidikan dan masalah anggaran tidak luput dari intervensi kekuasaan khususnya unsur utama dalam ABRI yakni TNI AD.

2. Sistem Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian dinegara manapun selalu berada dalams sebuah dilema kepentingan kekuasaan yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dengan masyarakatnya. Sistem Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control social yang diterapkan. Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih status menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Menteri. Ketetapan Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis hubungan vertikal sampai ketingkat plaing kecil seperti pada wilayah kecamatan-kecamatan.

Kedudukan kepolisian dalam sebuah Negara selalu menjadi kepentingan banyak pihak untuk duduk dan berada dibawah kekuasan. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian RI dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian di balut dengan budaya militer tersebut. Tahun 1998 tuntutan masyarakat bgitu kuat dalam upaya membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Maka selanjutnya Tap MPR No.VI/2000 dikeluarkan dan menyatakan bahwa salah satu tuntutan Reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI. Bahwa akibat dari penggabungan terjadi kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dan Polri sebagai kekuatan Kamtibmas. Maka Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Oleh karena itu Polri kembali dibawah Presiden setelah 32 tahun dibawah Menhankam/Panglima ABRI,Berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum, serta memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya Kamdagri. Karena dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa: (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas,, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. (2) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga / badan non departemen tapi di bawah Presiden dan Presiden sebagai Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan.

William Doener dan M.L. Dantzker, dalam bukunya ” contemporary Police Organization and Management, Issues and Trends“, menyatakan bahwa “Ketika pengamat membandingkan Sistem Kepolisian Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan di lain Negara, satu kunci perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian Amerika sangat terpisah, desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak Negara mengadopsi satu organisasi,biro, atau departemen untuk menegakkan hukum secara nasional.”

Karena sumberdaya dari sistem adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sistem untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam merealisasi tujuan. Sumberdaya ini termasuk orang atau manusia, uang, fasilitas dan peralatan, proses teknologi, informasi, dan berbagai sumberdaya lain diluar manusia. Selanjutnya jika dibedakan antara terbuka dan tertutup, maka berikut ini diambil definisi dari beberapa pakar. Open system is system which maintains it self while the matter and energy which enter it keep changing. The system is infuenced by, and influences, its environment and reaches a state of dynamic equilibrium in this environment. A Closed system has no interaction with its environment. Pendapat lain mengemukakan bahwa, sistem tertutup (Closed System) merupakan sebuah sistem yang terisolasi sama sekali daripada lingkungannya, sedangkan sistem terbuka (Open System) terus-menerus melaksanakan pertukaran informasi dengan lingkungannya (Winardi, hal. 138-139).

Dalam politik teori sistem yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan kekuasaan Negara. David Easton mengatakan bahwa masyarakat yang diferensiasi terbagi dalam berbagai peranan khusus yang timbul dalam sistem politik. Dalam kenyataannya suatu Negara pasti memiliki politisi, lembaga perwakilan, administrator, hakim-hakim, pemimpin-pemimpin politik dan semacamnya yang dapat diandalkan. Ketika memindahkan actor-aktor politik, pada saat yang sama juga memindahkan seluruh aktor-aktor lainnya orang-orang yang dilibatkan, keagamaan, lembaga-lembaga dalam pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik lainnya.

Standar yang harus dipakai dalam kerangka system adalah menempatkan system demokrasi sebagai sistem politik yang ideal dibandingkan dengan system lainnya yakni system otoriter. Pandangan tentang begitu positifnya demokrasi adalah bahwa system ini telah terbukti baik dalam mengatur umat manusia dan lembaga-lembaga Negara didalamnya selama berabad-abad lamanya. Negara adalah lembaga netral yang tidak boleh mengintervensi spesifikasi lembaga yang lainnya. Negara harus melindungi dan berdiri dalam semua golongan social dan politik. Menurut max Weber bahwa Negara adalah lembaga kemasyarakatan yang berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan daya paksa di suatu entitas dan kekuatan.

Menurut Arif Budiman bahwa Negara memiliki pesona daya paksa yang tinggi, yaitu. Pertama, negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam suatu masyarakat. Negara dapat mengintervensi dan memaksakan kehendaknya kepada warga Negara dan atau kepompok yang ada di dalam masyarakat, bahkan kalau perlu, Negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat atas perintah-perintah yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang besar diperoleh karena Negara merupakan kelembagaan kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, Negara dapat melaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil.

Konsep kekuasaan seperti itu sebenarnya telah lama dirumuskan oleh para filsuf, Plato, Aristoteles dan lainnya. Cita-citanya adalah di mana kekuasaan di pimpin dan dikendalikan oleh orang-orang yang berilmu. Mengingat menurut Plato bahwa kekuasaan itu memang jahat dan rakus. Thomas Hobbes juga mengatakan bahwa masyarakat itu serigala bagi yang lainnya karena itu harus dikendalikan oleh Negara yang kuat, dengan Negara yang kuat, maka akan menghasilkan ketertiban sosial dan hukum.

Nilai-nilai kekuasaan yang terkandung dalam demokrasi tak lagi memberikan pengayoman kepada masyarakat. Karena kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah adalah multak milik rakyat. Sehingga pemerintah sebagai penguasa atau pemegang kekuasaan Negara sebagaimana transisi yang terjadi di Indonesia harus dijalankan sebagai mana mestinya, artinya tidak perlu adanya intervensi kekuasaan didalamnya. Karena itu pendekatannya harus berdasarkan aturan hukum yang adil, dengan demikian hukum harus melindungi segenap rakyatnya. Perlindungan itu sendiri dijalankan berdasarkan undang-undang. Tetapi faktanya rakyat itu memang cenderung melakukan intervensi untuk kepentingannya sendiri. Dalam kosep Griddle (1966) juga menjelaskan banyaknya motivasi kekuasaan politik terhadap lembaga atau peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarnya (rent seeking politician). Bagi kepolisian sebagaimana tugas pokok yang diamanatkan dalam undang-undang dengan system kekuasaan yang mengkembiri nilai-nilai yang dibawa dalam kerangka tugas kepolisian akan menjadikan polisi sebagai sebuah lembaga dengan system yang keliru. Karena telah membalikan fakta rasional dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat.



The system approach

Sumber: Johnson et.all, The Theory and Management of System, hal.18, 1973

Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:

1. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.

2. Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.

3. Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia.

Dari uraian trsebut di atas, maka ada beberapa pendapat yang saling mempermasalahkan kedudukan kepolisian dalam system kepolisian Indonesia yang ideal. Oleh karena itu memerlukan kajian yang integrated. Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of policing telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). Apakah sistem yang sekarang ini merupakan sistem Kepolisian yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?

Kepolisian Indonesia bukan Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian.. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian samapai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis kepada satuan bawah untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan karena dalam sistem peradilan pidana kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat kejadian perkaranya ( locus delicti).

Desentralisasi ini diatur Pasal 10 UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.

Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan. Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan paham masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional (undang-undang)

Dalam konteks ini, Polri sudah harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes polri yang berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus, yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara yang parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Selain itu, dapat dilakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri ataupun meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancara. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent), melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah , namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang cukub besar untuk, sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan pemilihan kepala daerah.



3. Struktur di bawah Presiden

Sesuai dengan pengalaman 10 tahun pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun Polri melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah presiden. Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan Kapolri di bawah Presiden telah menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini disebabkan karena posisi Kapolri yang langsung mengetahui permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang ada saat ini.

Secara Politik, Polri bisa langsung menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan tugasnya . Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam hal ini Kapolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara maupun kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara politik, kapolri akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan institutional sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam proses politik, untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu dihata dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

1. Fungsi Kepolisian

Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus, b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.

2. Tugas pokok Kepolisian

Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

2. Menegakkan hukum

3. Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “, penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.

3. Kewenangan Kepolisian

Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik Kepolisian.

Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi :

1)Pre-emtif

2) Preventif

3)Represif

Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah :

4. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif)

Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing tersebut. Namun, konsep dari Community Policing itu sendiri saat ini sudah bias dengan pelaksanaannya di Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan diatas, dalam mengadakan perbandingan sistem kepolisian Negara luar, selain harus dilihat dari administrasi pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia ( Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan ( siskamling) dalam komunitas-komunitas desa dan kampong, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing. Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiata-kegiatan khusus.

5. Tugas di bidang Preventif

Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional tekhnik tersendiri seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan pengaturan.

6. Tugas di bidang Represif

Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan. KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan menggunakan azas legalitasbersama unsure Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila terjadi tindak pidana, penyidik melakukan kegiatan berupa:

1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;

2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;

3. Mencari serta mengumpulkan bukti;

4. Membuat terang tindak pidana yang terjadi;

5. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.

4. Penutup

Dalam perkembangannya saat ini

Kepolisian Indonesia saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memasuki tahap yang memberi arah yang civilian, dimana pendekatan kemasyarakatan begitu kental terarah dalam setiap pasal dan bab yang ada dalam undang-undang kepolisian. Karena telah melihat kondisi terbalik pada masa Orde Baru yang cukup panjang, sehingga salah satu tuntutan reformasi tahun 1998 adalah mrefosisi kepolisian secara utuh. Saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, dan sekarang yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta melakukan pembenahan secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan Masyarakat melalui langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan melakukan efisensi dan efektifitas yang terkait dengan penggunaan tekhnologi Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam praktek-praktek kerja di lapangan.

Akhirnya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tentu akan memfosisikan kepolisian dalam sebuah kerangka yang benar, agar pembangunan system kepolisian mengarah pada posisi ideal. Banyak pengaruh politik dalam system kepolisian yang tidak dapat diabaikan dengan begitu saja. Karena posisi kepolisian dalam system kenegaraan mempunyai arti yang signfikan, dimana kepolisian bisa menjadi garda terdepan yang memberi peluang hubungan pemerintah dengan masnyarakat dalam banyak kepentingan.



==00==


Daftar Pustaka



Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 2002.

Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002.

Bambang W Umar, Penafsiran Kembali Simbol-Simbol Polisi, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002.

David Easton, Kerangka Kerja Sistem Politik, Bina Aksara, Jakarta, 1998.

Farouk Muhammad, Reformasi Kultiral Polri Dalam Konteks Pergeseran Paradigma Kepolisian abad 21, Pidato pengukuhan profesor, PTIK, 18 September 2004.

Johnson, Richard A; Kast, Fremon E [and] Rosenzweig, James E. The theory and management of systems. :McGraw-Hill. 1973.

M. Sastrapratedja, Pengantar, John Locke, Kuasa itu Milik Rakyat, Kanisius, Yogyakarta, 2002.

Muhammad Nasir, Presiden versus Polri dalam Transisi Demokrasi Indonesia, Madani Institut, 2004.

Sidratahta Mukhtar, Manajemen Keamanan Negara I dan II, makalah, FGD Propatria, dalam pembahasan RUU Kamnas, November 2005.

-------------- Sidratahta Mukhtar, Posisi Polisi Sebagai Kelompok Kepentingan Institusional dalam Negara, Jurnal Studi Kepolisian, PTIK, 2004.

UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Winardi. Pengantar teori sistem dan analisa sistem. Karya Nusantara. 1980.


Tidak ada komentar: