Selasa, 18 Mei 2010

Kepolisian Sebagai Penjaga Pilar Demokrasi Indonesia

muhammad nasir
Kondisi sosial politik Indoensia pasca pergantian kepemimpinan nasional dari mantan Presiden Seoharto kepada BJ. Habibie telah membuka mata masyarakat yang selama ini apolitik. Bukan tidak beralasan bagi masyarakat untuk menghindari kegiatan politik pada masa pemerintahn Orde Baru, tetapi adalah alasan yang cukup bisa diterima akal untuk menghindari terjadinya tindakan refresif penguasa terhadap perbedaan pendangan. Pembebasan tahanan-tahanan politik pada awal pergantian pimpinan nasional tersebut tidak menafikan ketakutan masyarakat. Bangsa Indonesia sangat menyadari berbeda dengan pemerintah sama saja menantang penguasa dan siap berhadapan dengan angkatan bersenjata yang akan menumpas dengan segala perlengkapannya, padahal bangsa ini didirikan dengan berbagai keanekaragaman budaya dan pendapat. Sistem otoriter yang diterapakan mantan Presiden Soeharto dalam menjalankan roda pemerintahan pada awalnya mendapat dukungan dari masyarakat luas, akibat dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 lalu. Kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancsila secara konsekuen dalam membawa amanah rakyat sangat membius harmoni regulasi masyarakat dan pemerintah. Namun roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana harapan seperti panggang jauh dari api. Pemerintah lebih mengedapankan untuk berbuat dalam usaha melanggengkan kekuasaan, kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk memberikan layaknya sebagai warga negara dalam tatatan pemerintah yang menggunakan sistem demokrasi terabaikan demi untuk kekuasaan. Kondisi ini yang tak mampu dipertahankan mantan Presiden Soeharto selama lebih dari 32 tahun berkuasa akhirnya harus turun dari kursi kekuasaan akibat dari tekanan masyarakat. Ia pun harus rela meninggalkan kursi kepresidenan dengan segala kewenangan dan faktor imunitas karena kepecayaan masyarakat telah hilang dalam kepemimpinannya.

Pemerintahan dengan kepemimpinan BJ Habibie yang merupakan mantan Wakil Presiden hasil pemilihan umum tahun 1997 bukan merupakan keinginan masyarakat secara umum, tetapi merupakan proses transisi pemerintahan untuk dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan mempersiapkan segala bentuk struktur dan infra struktur yang lebih menjamin adanya korelasi antara masyarakat pemilih dengan pemimpin yang akan diberikan mandat untuk menjalankan pemerintahan. Tugas berat yang diemban Habibie sebagai kepala negara dengan berbagai tekanan dan demontrasi masyarakat menuntut perubahan secara gradual yang signifikan serta diadakan proses pemilihan umum secepatnya adalah kegiatan yang mendominasi selama kepemimpinannya. Belum lagi dengan kondisi tuntutan ekonomi makro yang sejak tahun 1997 mengalami krisis dan tuntutan pemisahan propinsi Timor Timur sebagai propinsi termuda Indonesia yang telah ditangani oleh badan dunia PBB dalam rangka jejak pendapat. Tentu ini menambah daftar pajang harus diselesaikan oleh pemerintah.

Keinginan masyarakat untuk hidup dalam sebuah negara yang mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat bukan keinginan yang berlebihan, palagi mengingat bangsa ini telah lepas dari kakangan kolonalisme lebih dari setengah abad. Sudah sepantasnya sebagi rakyat yang hidup dalam negara yang berdaulat penuh mempunyai harapan dan cita-cita untuk hidup layak, mengenyam pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik lain yang bersifat humanisme serta memberikan rasa keadilan masyarakat. Krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia pada tahun 1997 tersebut menelurkan sedidkit pencerahan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, bangsa yang selama ini takut berbeda pandangan dengan pemerintah mulai merambah pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang paling dasar sebagai warga negara. Reformasi yang digulirkan untuk menuntuk perubahan struktur dan infra struktur dalam pemerintahan secara perlahan mulai dibahas oleh dewan untuk memberikan jaminan dan hak-hak masyarakat dan tugas-tugas pemerintah sebagai pelayan publik diposisikan.

Terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan ulang yang dilaksanakan tahun 1999 dengan mengangkat Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih, masyarakat sangat antusias dan menaruh harapan penuh adanya perbaikan sistem pemerintahan yang berdampak langsung dengan perbaikan hidup masyarakat. Harapan yang besar dari masyrakakat terhadap kepemimpinan baru karena dianggap yang terpilih adalah dari tokoh masyarakat yang berada diluar lingkungan kekuasaan yang selama ini berkuasa, serta sangat mengakomodasi kepentingan rakyat kecil. Perubahan dalam sistem pemerintahan sejak pertama kepemimpinan tersebut memang tampak terasa dengan restrukturisasi beberapa deparetemen dalam pemerintahan (Departemen Sosial dan Departemen Penerangan) yang dianggap sebagai pembenaran terhadap apa yang dikeluarkan oleh pemerintah, sementara pemerintah menganggap itu merupakan kewenagan masyarakat untuk menilai.

Salah satu yang menjadi komitmen pemerintahan baru tersebut adalah adanya rasa keadilan bagi masyarakat dan penegakan hukum yang dapat berjalan secara adil bagi semua masyarakat. Komitmen untuk membangun rasa keadilan masyarakat dan proporsional bagi para penyelenggara negara bukan hanya kampanye untuk komersialime hak pilih dalam pemilihan umum untuk mendulang suara. Upaya untuk menciptakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat dibenahi dengan membangun struktur dan infra struktur lembaga peradilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Satu hal yang menjadi agenda utama dalam kondisi tersebut adalah pemisahan kepolisian dari kelembagaan militer serta kenikan gaji para hakim yang jauh dibading dengan pegawai sederajat dilingkungan pegawai negeri lainnya.

Wacana pemisahan kepolisian dari lembaga militer disambut baik oleh berbagai kalangan masyarakat, mengingat kerangka kerja yang memang sangat jauh berbeda dengan instansi militer. Tuntutan pertama ini digulirkan pasca turunnya Soeharto dari kursi presiden yang digulirkan pada masa pemerintahan BJ. Habibie dengan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang pemisahan Institusi Kepolisian dari ABRI yang sementara berada di bawah Departemen Pertahanan sambil menunggu proses pembentukan payung hukumnya. Pencerahan yang dilakukan pemerintah untuk merposisi berbagai kedudukan birokrasi disambut positif oleh masyarakat adanya perbaikan sistem dan tata lembaga negara. Inilah yang menjadi cikal-bakal munculnya Ketetapan MPR Nomor VI dan VII tahun 1999 serta terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2002 dan UU Nomor 34 Tahun 2003 sebagai payung hukum kepolisian dan lembaga militer dalam menapaki karier sebagai lembaga yang profesional dalam bidangnya.

Perjalanan panjang kepolisian sebagai Institusi negara dengan lahirnya UU tersebut bukan berhenti disini, tetapi jauh sebagai langkah awal menjalankan institusi yang benar-benar sesuai dengan koridor dalam negara yang mengikuti kaidah-kaidah demokrasi. Bagaimana mungkin kepolisian yang selama ini terkungkung sebagai kekuatan (bersama dengan TNI) untuk mempertahankan legitimasi penguasa dengan serta merta menjadi sebagai institusi yang independen pemegang kendali pertama penegak pilar demokrasi di Indonesia. Inilah yang menjadi fokus kajian, apakah kepolisian mampu menjadi pilar utama dalam menciptakan iklim demokrasi yang sedang dirintis bangsa Indonesia. Ancaman dan hambatan tentu datang dari berbagai dimensi dengan berbagai referensi yang melatarbelakanginya, namun bukan alasan pembenar yang mesti dipercaya begitu saja. Lembaga yang profesional akan membenahi berbagai kekuarangan dari lingkungan internal dan ekternal secara selektif prioritas.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian diamanahkan dalam tugas pokoknya yang menyebutkan melakukan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat dimana hal tersebut merupakan hal yang paling mendasar dalam penerapan sistem demokrasi dalam sebuah negara. Bahwa negara dalam hal ini diwakili oleh institusi kepolisian mempunyai tugas dan tanggung jawab yang paling pertama menjadikan kondisi pemerintahan sebagai tiang utama dalam (menciptakan) sistem demokrasi itu berjalan. Ada dua hal yang harus dipahami bahwa institusi kepolisian adalah sebagai lembaga lembaga sipil (non-combatant) yang dibenarkan memegang senjata api dan dilegalkan melakukan upaya paksa (violens) terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran. Kedua, bagaimanapun harmoni kepolisian dibawah nama besar ABRI dengan penguasa yang salama ini berjalan puluhan tahun telah membentuk kultur yang telah diadopsi beberapa generasi yang saat ini menjadi pimpinan kepolisian pada tatanan top dan midle manajemen. Sementara untuk generasi baru yang sudah ditanamkan nilai-nilai civilian cultun secara konfrehensif belum mempunyai kewenangan yang signifikan sebagai penentu kebijakan. Apalagi eksistensinya sebagai generasi penerus telah dijejali budaya yang salama ini melegalkan hal-hal yang lebih banyak bertentangan dengan aturan hukum dan pendekatan kekuasaan dan kewenangan dalam jabatan dan materianl. Kekhawatiran ini cukup beralasan untuk melakukan kontrol yang luar biasa kepada institusi yang mempunyai tugas mulia dalam tatanan sosial masyarakat. Bagaimanapun penyalahgunaan kewenangan kepolisian secara personel maupun institusi akan memberikan pencitraan bertolak belakang dengan kaidah yang diamanat yang diamanatkan dalam undang-undang kepolisian itu sendiri, karena bila tidak dilandasi dengan pemahaman secara etimologi hal tersebut sangat mungkin terjadi. Ditambah lagi dengan kultur yang telah terbentuk sangatlah memungkinkan, karena memori itu telah berjalam dengan cukup lama. Apa yang selama ini telah berjalan dalam menjaga keamanan kekuasaan tidak disadari oleh individu-individu, meningat secara pribadi individu-individu tersebut melakukan aktivitas sesuai dengan yang diperintahkan atasannya langsung. Secara normatif proses pembusukan yang dialakukan secara sistasmitis ini dikatakan sebagai aktivitas-aktivitas yang benar dan memenuhi dengan doktrin yang diajarkan.

Aktivitas-aktivitas yang selama ini dianggap sebagai sistem yang benar harus diluruskan, dan ini harus dimulai dengan tingkatan yang paling mendasar secara internal maupun eksternal. Secara etimologi apakah eksistensi kepolisian telah memenuhi unsur sebagai institusi yang memegang jaring kewenangan dalam melakukan penertiban dalam masyarakat yang sangat majemuk ini. Fundamentalisme ini harus dilakukan dan dikaji secara mendalam untuk menemukan konsepsi tugas pokok kepolisian agar tidak terjadi polarisasi antara kegiatan sebagai garda terdepan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan penerapan hukum positif dengan aktvitas sebagai penjaga keamanan penguasa. Kondisi ini harus dipahami sebagai arena pengkajian untuk menemukan fungsi dan kedudukan serta peran yang dapat bermanfaat langsung kepada sistem negara demokratis.

Tidak ada komentar: