Kamis, 16 Desember 2010

Jurus “Pendekar” Anti Kemacetan Lalu Lintas

 muhammad nasir

Kemacetan lalu lintas di Jakarta memang bukan sesuatu yang baru dan untuk diperdebatkan tetapi cari solusinya. Pergantian kepempimpinan baik dalam tatanan Pemerintah Pusat, Pemerintah Derah dan bahkan pergantian Direktur Lalu Lintas dan Kepala Dinas Perhubungan sudah sering kali terjadi di Jakarta. Namun masalah lalu lintas masih tetap terjadi dan bahkan cenderung meningkat.

Pelayanan publik dalam bidang lalu lintas khususnya bagi masyarakat Jakarta saat ini, dan bahkan jauh sebelumnya permasalahan lalu lintas ini menjadi topic yang diperdebatkan dai tingkat bawah hingga berskala nasional. Namun upaya yang dilakukan hanya bersifat seremonial dan rentetan dari publikasi untuk pengenalan diri pejabat yang mempunyai otoritas tersebut.

Upaya yang dilakukan dalam “pengentasan” kemacetan lalu lintas lebih banyak dilakukan hanya bersifat situasional dan bukan pada akar permasalahan lalu lintas yang sudah berlangsung lebih satu dasawarsa permasalahan tersebut. Public sudah menerima kerugian dari permasalahan lalu lintas baik kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas mulai dari waktu, biaya, kesehatan dan bahkan kematian akibat dari korban kecelakaan lalu lintas. Namun akar permasalahan lalu lintas tersebut tetap belum tersentuh secara fundamental.

Pesatnya pertambahan kedaraan bermotor setiap tahunnya yang sampai saat ini telah menempati angka 11 juta unit lebih sementara pertambahan panjang jalan yang hanya berkisar 0,4-5% setiap tahunnya, bukan sebuah keseimbangan yang signifikan dalam ranah pelayanan publik. Wayne Parsons (2001:30) menilai lalu lintas merupakan sektor kebiajakan publik yang diseting terjadi interaksi antar disiplin ilmu dan antar institusi dalam pengelolaannya. Permasalahan lalu lintas tidak dapat diselesaikan hanya dengan penggelaran personel Polisi Lalu Lintas, Dinas Perhubungan dan Satuan Polisi Pamong Praja pada setiap persimpangan jalan, lampu merah, lapangan parkir dan pasar tumpah, tetapi butuh lebih dari sekedar itu.

Kebijakan Royke Lumoa sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya yang menggandeng Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Satpol PP untuk melakukan kanalisasi kendaraan bermotor roda dua, sterilisasi parkir di bahu badan jalan dan penindakan pelanggaran lalu lalu lintas adalah upaya jangka pendek yang lebih bersifat situasional mengingat kemacetan lalu lintas sudah merugikan pengguna jalan bukan saja aspek material tetapi juga psikologi sosial dan kemanusiaan.

Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dalam upaya mengatasi kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas untuk mencapai tujuan berlalu lintas yang aman, tertib dan lancar dengan menggunakan pendekatan manajemen dan rekayasa lalu lintas dengan mengedepankan unsur perencanaan dan rekayasa hingga pengendalian dampak lingkungan dari situasi lalu lintas di jalan. Agar lalu lintas dapat berjalan dengan aman, selamat, tertib dan lancar juga terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa.

Kebijakan dan Kepemimpinan

Sebagai orang baru kebernaian Royke sebagai “pendekar” dalam menangani kemacetan lalu lintas di Jakarta dengan memanggil pengelola dan menutup mal-mal yang bersentuhan dengan permukaan jalan utama yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas seperti Mal Ambasador, Cilandak Town Square,dan Cibubur Junction dalam waktu dekat dan sepuluh mal berikutnya (Sindo 23/11/2010) adalah upaya nyata yang lebih mengedepankan pelayanan publik yang lebih bersifat jangka panjang. Hal ini harus didukung oleh otoritas yang mempunyai wewenang dalam upaya “melawan mafia ekonomi” yang lebih mementingkan kelanggengan kaum kapitalis, dengan membekukan ijin pengelolaan mal tersebut serta tidak memberikan ijin baru dalam pembangunan mal yang membuat dampak kemacetan lalu lintas dan permasalahan sosial lainnya.



Kedua adalah pengguliran pembatasan kendaraan bermotor oleh Pemerintah Pusat dan pengurangan pendapatan tax Pemda DKI yang mencapai angka 6 Triliun pertahun yang dimunculkan oleh Royke akan lebih menyentuh upaya mengatasi kemacetan lalu lintas secara komprehensif, disamping menata kebutuhan jalan dan transportasi massa secara berkelanjutan.



Disadari dalam hegemoni polisi lalu lintas yang masih terkungkung oleh otoritas pengambilan opini dan kebijakan dari bawah sebagai implementasi undang-undang yang disampaikan oleh Royke memang sangat populis tetapi mempunyai tantangan yang berat untuk keberhasilannya. Mengingat Royke hanya sebagai tenaga operasional dilapangan yang lebih bersifat tehnis. Karena sistem birokrasi sebagaimana dikatakan Crozier (1989:82) untuk memperbaiki birokrasi harus cara belajar dari kesalahan, dimana saat ini permasalahan lalu lintas bukan saja masih terus terjadi tetapi bertambah pada jaringan jalan yang lebih kecil dan tidak memandang waktu kejadian. Oleh karena itu perlu sebuah kebijakan yang lebih humanis dalam menyelesaikan permasalahan lalu lintas secara komprehensif dan menyentuh pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.



Oleh karena itu kebijakan Dir Lantas dalam mengidentifikasi pembangunan dan prijinan mal yang mempunyai dampak lalu lintas dan pertambahan jumlah kendaraan tersebut patut didukung dalam upaya memberikan pelayanan lalu lintas kepada masyarakat yang mengedepankan keselamatan bagi pengguna jalan mengefektifkan dan mengefisienkan fungsi lalu lintas secara komprehensif.



Implementasi Pelayanan Lalu Lintas ke Depan



Kebutuhan masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari harus di dukung dengan sistem pelayanan pemerintah efektif, efisien dan berbiaya murah. Karena masyarakat telah memberikan tanggung jawab dan kewajibannya dalam hubungan berbangsa dan bernegara dengan membayar pajak, mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.



Lalu lintas adalah salah satu sarana dan prasarana dalam menggerakan ekonomi masyarakat dan bangsa, oleh karena itu pelayanan dalam berlalu lintas bagi masyarakat harus ada pilihan-pilihan yang lebih menguntungkan secara materiil dan imateriil. Bangunan pelayanan lalu lintas bukan lagi mengedepankan kepentingan kelompok borjois dan menguntungkan bagi penyenggara pemerintahan. Masyarakat adalah inti penyelenggaraan pemerintah. Untuk itu pembangunan pelayanan lalu lintas ke depan dapat memadukan berbagai kebutuhan masyarakat dengan mengembangkan pola angkutan umum, keterpaduan sistem angkutan umum (mass rapid transit) dan sistem jaringan jalan yang lebih komprehensif perlu lebih dikedepankan. Karena pola penanganan dan penggelaran Polisi Llalu Lintas, Dinas Perbubungan dan Satpol PP dengan tidak membuat sistem jaringan transportasi masal dan pilihan-pilihan masyarakat dalam berlalu lintas tentu permasalahan lalu lintas akan terus terjadi.



Polisi lalu lintas kedepan bukan hanya mengurusi kemacetan lalu lintas tetapi lebih pada upaya membangun etika berlalu lintas untuk menjamin keselamatan jalan dalam usaha membangun ekonomi dan budaya bangsa, karena kondisi lalu lintas dijalan adalah cerminan budaya bangsa.

Tidak ada komentar: