Rabu, 22 Desember 2010

MA Bebaskan Romli

kompas
Kamis, 23 Desember 2010
02:54 WIB



Jakarta, Kompas - Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Kehakiman Romli Atmasasmita diputus lepas dari semua tuntutan hukum atau ontslag oleh Mahkamah Agung. MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Romli, yang menjadi terdakwa kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum.



Denny Kailimang dan Juniver Girsang, penasihat hukum Romli, mengungkapkan hal itu, secara terpisah, Rabu (22/12) di Jakarta. ”Keputusan atas perkara Prof Romly, ontslag. Artinya, pelepasan atau pembebasan dari segala tuntutan pidana. Putusan ini diputus dengan suara bulat,” jelas Denny. Juniver menambahkan, majelis hakim agung menerima memori kasasi yang diajukan penasihat hukum, antara lain tak ada bukti yang menunjukkan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa.



Putusan kasasi itu dijatuhkan majelis hakim agung yang diketuai Mohammad Taufik, serta anggota Zaharuddin Utama dan Suwardi. Putusan dijatuhkan Selasa lalu. Majelis kasasi tak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dari terdakwa karena Romli tidak mendapat keuntungan secara pribadi atas pelaksanaan proyek Sisminbakum.



Sebelumnya, Romli dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 September 2009. Majelis hakim yang diketuai Ahmad Yusak saat itu menyatakan, ia terbukti melakukan korupsi biaya akses Sisminbakum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana, sehingga merugikan negara. Ia juga diperintahkan membayar denda Rp 100 juta subsider dua bulan penjara dan uang pengganti 2.000 dollar Amerika Serikat (AS) dan Rp 5 juta (Kompas, 8/9/2009).



Atas putusan itu, Romli mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukumannya menjadi satu tahun penjara. Romli tetap dihukum membayar uang pengganti (Kompas, 13/2).



Terkait putusan MA terhadap Romli, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap mengatakan, Kejaksaan Agung belum dapat menanggapinya karena secara resmi belum menerima salinan putusannya. ”Pertimbangan MA itu perlu kami pelajari dulu. Kami tak bisa bicara tanpa ada fakta hukumnya,” katanya.



Sebaliknya, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, yang juga tersangka kasus Sisminbakum, menuturkan, vonis MA yang berkekuatan hukum tetap terhadap Romli itu akan berimplikasi pada penyidikan kasus Sisminbakum selanjutnya. ”Karena dalam kasus Sisminbakum tidak ada unsur kerugian negara dan tidak ada sifat melawan hukum, semua orang, baik yang masih dalam proses hukum dalam kasus itu semestinya dibebaskan dan atau dihentikan,” katanya. (ANA/FAJ)

Kamis, 16 Desember 2010

Jurus “Pendekar” Anti Kemacetan Lalu Lintas

 muhammad nasir

Kemacetan lalu lintas di Jakarta memang bukan sesuatu yang baru dan untuk diperdebatkan tetapi cari solusinya. Pergantian kepempimpinan baik dalam tatanan Pemerintah Pusat, Pemerintah Derah dan bahkan pergantian Direktur Lalu Lintas dan Kepala Dinas Perhubungan sudah sering kali terjadi di Jakarta. Namun masalah lalu lintas masih tetap terjadi dan bahkan cenderung meningkat.

Pelayanan publik dalam bidang lalu lintas khususnya bagi masyarakat Jakarta saat ini, dan bahkan jauh sebelumnya permasalahan lalu lintas ini menjadi topic yang diperdebatkan dai tingkat bawah hingga berskala nasional. Namun upaya yang dilakukan hanya bersifat seremonial dan rentetan dari publikasi untuk pengenalan diri pejabat yang mempunyai otoritas tersebut.

Upaya yang dilakukan dalam “pengentasan” kemacetan lalu lintas lebih banyak dilakukan hanya bersifat situasional dan bukan pada akar permasalahan lalu lintas yang sudah berlangsung lebih satu dasawarsa permasalahan tersebut. Public sudah menerima kerugian dari permasalahan lalu lintas baik kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas mulai dari waktu, biaya, kesehatan dan bahkan kematian akibat dari korban kecelakaan lalu lintas. Namun akar permasalahan lalu lintas tersebut tetap belum tersentuh secara fundamental.

Pesatnya pertambahan kedaraan bermotor setiap tahunnya yang sampai saat ini telah menempati angka 11 juta unit lebih sementara pertambahan panjang jalan yang hanya berkisar 0,4-5% setiap tahunnya, bukan sebuah keseimbangan yang signifikan dalam ranah pelayanan publik. Wayne Parsons (2001:30) menilai lalu lintas merupakan sektor kebiajakan publik yang diseting terjadi interaksi antar disiplin ilmu dan antar institusi dalam pengelolaannya. Permasalahan lalu lintas tidak dapat diselesaikan hanya dengan penggelaran personel Polisi Lalu Lintas, Dinas Perhubungan dan Satuan Polisi Pamong Praja pada setiap persimpangan jalan, lampu merah, lapangan parkir dan pasar tumpah, tetapi butuh lebih dari sekedar itu.

Kebijakan Royke Lumoa sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya yang menggandeng Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Satpol PP untuk melakukan kanalisasi kendaraan bermotor roda dua, sterilisasi parkir di bahu badan jalan dan penindakan pelanggaran lalu lalu lintas adalah upaya jangka pendek yang lebih bersifat situasional mengingat kemacetan lalu lintas sudah merugikan pengguna jalan bukan saja aspek material tetapi juga psikologi sosial dan kemanusiaan.

Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dalam upaya mengatasi kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas untuk mencapai tujuan berlalu lintas yang aman, tertib dan lancar dengan menggunakan pendekatan manajemen dan rekayasa lalu lintas dengan mengedepankan unsur perencanaan dan rekayasa hingga pengendalian dampak lingkungan dari situasi lalu lintas di jalan. Agar lalu lintas dapat berjalan dengan aman, selamat, tertib dan lancar juga terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa.

Kebijakan dan Kepemimpinan

Sebagai orang baru kebernaian Royke sebagai “pendekar” dalam menangani kemacetan lalu lintas di Jakarta dengan memanggil pengelola dan menutup mal-mal yang bersentuhan dengan permukaan jalan utama yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas seperti Mal Ambasador, Cilandak Town Square,dan Cibubur Junction dalam waktu dekat dan sepuluh mal berikutnya (Sindo 23/11/2010) adalah upaya nyata yang lebih mengedepankan pelayanan publik yang lebih bersifat jangka panjang. Hal ini harus didukung oleh otoritas yang mempunyai wewenang dalam upaya “melawan mafia ekonomi” yang lebih mementingkan kelanggengan kaum kapitalis, dengan membekukan ijin pengelolaan mal tersebut serta tidak memberikan ijin baru dalam pembangunan mal yang membuat dampak kemacetan lalu lintas dan permasalahan sosial lainnya.



Kedua adalah pengguliran pembatasan kendaraan bermotor oleh Pemerintah Pusat dan pengurangan pendapatan tax Pemda DKI yang mencapai angka 6 Triliun pertahun yang dimunculkan oleh Royke akan lebih menyentuh upaya mengatasi kemacetan lalu lintas secara komprehensif, disamping menata kebutuhan jalan dan transportasi massa secara berkelanjutan.



Disadari dalam hegemoni polisi lalu lintas yang masih terkungkung oleh otoritas pengambilan opini dan kebijakan dari bawah sebagai implementasi undang-undang yang disampaikan oleh Royke memang sangat populis tetapi mempunyai tantangan yang berat untuk keberhasilannya. Mengingat Royke hanya sebagai tenaga operasional dilapangan yang lebih bersifat tehnis. Karena sistem birokrasi sebagaimana dikatakan Crozier (1989:82) untuk memperbaiki birokrasi harus cara belajar dari kesalahan, dimana saat ini permasalahan lalu lintas bukan saja masih terus terjadi tetapi bertambah pada jaringan jalan yang lebih kecil dan tidak memandang waktu kejadian. Oleh karena itu perlu sebuah kebijakan yang lebih humanis dalam menyelesaikan permasalahan lalu lintas secara komprehensif dan menyentuh pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.



Oleh karena itu kebijakan Dir Lantas dalam mengidentifikasi pembangunan dan prijinan mal yang mempunyai dampak lalu lintas dan pertambahan jumlah kendaraan tersebut patut didukung dalam upaya memberikan pelayanan lalu lintas kepada masyarakat yang mengedepankan keselamatan bagi pengguna jalan mengefektifkan dan mengefisienkan fungsi lalu lintas secara komprehensif.



Implementasi Pelayanan Lalu Lintas ke Depan



Kebutuhan masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari harus di dukung dengan sistem pelayanan pemerintah efektif, efisien dan berbiaya murah. Karena masyarakat telah memberikan tanggung jawab dan kewajibannya dalam hubungan berbangsa dan bernegara dengan membayar pajak, mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.



Lalu lintas adalah salah satu sarana dan prasarana dalam menggerakan ekonomi masyarakat dan bangsa, oleh karena itu pelayanan dalam berlalu lintas bagi masyarakat harus ada pilihan-pilihan yang lebih menguntungkan secara materiil dan imateriil. Bangunan pelayanan lalu lintas bukan lagi mengedepankan kepentingan kelompok borjois dan menguntungkan bagi penyenggara pemerintahan. Masyarakat adalah inti penyelenggaraan pemerintah. Untuk itu pembangunan pelayanan lalu lintas ke depan dapat memadukan berbagai kebutuhan masyarakat dengan mengembangkan pola angkutan umum, keterpaduan sistem angkutan umum (mass rapid transit) dan sistem jaringan jalan yang lebih komprehensif perlu lebih dikedepankan. Karena pola penanganan dan penggelaran Polisi Llalu Lintas, Dinas Perbubungan dan Satpol PP dengan tidak membuat sistem jaringan transportasi masal dan pilihan-pilihan masyarakat dalam berlalu lintas tentu permasalahan lalu lintas akan terus terjadi.



Polisi lalu lintas kedepan bukan hanya mengurusi kemacetan lalu lintas tetapi lebih pada upaya membangun etika berlalu lintas untuk menjamin keselamatan jalan dalam usaha membangun ekonomi dan budaya bangsa, karena kondisi lalu lintas dijalan adalah cerminan budaya bangsa.

Selasa, 16 November 2010

ANALISIS SISTEM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA



Muhammad Nasir



1. Pendahuluan

Salah satu raison d’etre dari kehadiran negara adalah menjamin keamanan warga negara. Oleh karenanya pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan tujuan itu. Sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Sebagai konsekuensi logis dari pentingnya keamanan nasional, maka negara membentuk instrumen utama pelaksana manajemen keamanan yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polri melaksanakan fungsi utama sebagai unsur pemerintah yang melaksanakan pelayanan publik dibidang keamanan.

Perkembangan Polri memperlihatkan masih banyaknya intervensi kekuasaan dalam implementasi fungsinya dalam kehidupan bangsa dan negara. Intervensi kekuasaan yang mencolok terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa. Di mana institusi Polri melalui pengangkatan Chaeruddin Ismail sebagai Wakapolri, kemudian sebagai Pejabat Kapolri oleh Presiden tanpa melalui mekanisme yang lazimnya yakni melalui proses Wanjakti dan persetujuan atau fit and proper test DPR terlebih dahulu. Tetapi dijadikan Presiden untuk usaha mempertahankan kekuasaan. Saat itu Presiden sedang menghadapi ancaman impechment. Demikian pula pada masa Presiden Megawati di mana saat kampanye menjelang Pilpres terjadi kampanye oleh beberapa oknum pejabat wilayah Polri, di Jawa Barat. Intervensi kekuasaan itu merupakan hal yang biasa dalam penyelenggaraan negara. Di berbagai negara, intervensi itu masih seringkali terjadi. KGB Uni Sovyet digunakan untuk kepentingan partai komunis, Polisi Diraja Malaysia dipergunakan sebagai alat kekuasaan Kerajaan, Kepolisian Afrika untuk kepentingan politik Apartheid, Jepang kepolisianya berorientasi politik dan lainnya.

Kepolisian kita yang dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk melayani penjajah Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung, baik manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak Belanda. Pendudukan Belanda, Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite pribumi. Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap sama, meskipun sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi. Perbedaannya hanya pada penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi pribumi boleh menggunakan senjata api. Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk menggunakan senjata secara resmi. sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur Belanda saja yang boleh menggunakan senjata api.

Pemberian pendidikan dan pengetahuan serta pelatihan tentang teori-teori kepolisian secara umum sedikit sekali diberikan pada polisi pribumi. Namun pasca kemerdekaan baru mengintegrasikan diri kedalam sistem birokrasi bangsa Indonesia.pelembagaan badan kepolisian pasca masa penjajahan masih mengalami tekanan sejalan dengan perjuangan suku bangsa di nusantara dan menjelang kemerdekaan RI agustus 1945, PPKI merumuskan lembaga kepolisian pada kementerian dalam negeri, dengan mengacu kepada de dienst der algemene politie karena menurut Bambang W Umar, belum tersedia sistem yang sesuai dengan ketatanegaraan Indonesia untuk melandasi bekerja polisi. Karena itu pada saat kemerdekaan posisi Polri belum jelas eksistensinya dalam kementerian.

Pada masa Orde lama, dengan Keppres No 290/1964, 12 November 1964, Polri diintegrasikan dalam ABRI. Polri justru menjadi ujung tombak penjaga stabilitas politik. Integrasi polri dalam politik Orde Baru mengakibatkan; (a) ideologi militer sangat kuat dalam sistem pendidikan dan manajemen. (b) pengorganisasian yang sentralistik. (c) komunitas polisi lebih lekat kepada militer daripada komunitas kepolisian.

Salah satu tuntutan masyarakat pada awal reformasi adalah diperlukannya reformasi mendasar di dalam institusi kepolisian.lembaga yang relatif cepat mengalami reformasi pasca Orde Baru adalah Polri. Perubahan itu dimulai dengan momentum bersejarah pemisahan Polri dari TNI pada 1 April 1999. Polri adalah lembaga pemerintahan negara yang berfungsi sebagai penanggung jawab masalah keamanan, sementara TNI merupakan lembaga negara yang mempertahankan negara dari ancaman luar. Dalam konteks ini, berdasarkan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara hanya mengenal istilah “keamanan dan ketertiban masyarakat” dan keamanan dalam negeri.

Pertimbangan filosofis yang mendasari kebijakan pemisahan Polri dari ABRI adalah perbedaan fungsi kepolisian dengan militer (TNI). Militer ditujukan untuk keselamatan, keutuhan dan kedaulatan negara, sedang fungsi kepolisian ditujukan untuk menjamin ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Dari segi obyek militer ditujukan untuk keamanan negara, sementara Polri untuk keamanan individu, masyarakat dan pemerintah. Perbedaan mendasar tugas polisi dan tentara terletak pada; polisi berdasarkan aturan hukum yang sudah pasti, sedangkan tentara berdasarkan keputusan politik. Meskipun Farouk kurang sependapat dengan gagasan yaitu pemisahan itu semata-mata karena faktor intervensi ABRI dalam melaksanakan tugas operasional Polri. Pada sisi lainnya, Awaluddin Djamin melihat intervensi ABRI selama Orde Baru sebagai faktor pendorong pemisahan Polri dari ABRI.

Perubahan itu ternyata tidak mencakup aspek politik, tetapi juga hampir berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Polri perubahan itu tidak hanya menyangkut upaya peningkatan pelayanan Polri kepada masyarakat, tetapi menuntut Polri sebagai pengawal, mengingat kepolisian merupakan aparatur pemerintah yang selama 24 jam sehari melakukan kontak dengan masyarakat. Polri tuntut sebagai pelindung HAM dan human security .

Pasca pemisahan dari TNI (dahulu ABRI), sementara Polri berada di bawah Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Kemudian dalam perkembangannya, Polri berada di bawah Presiden, selaku pemegang mandat politik langsung dari rakyat Indonesia. Dengan posisi seperti itu, menurut paparan Kapolri baru-baru ini bahwa dengan di bawah Presiden, maka Polri akan dapat mengikuti langsung perkembangan situasi nasional, dan melakukan tindakan pengamanan secara cepat terhadap berbagai ancaman keamanan dalam negeri. Dalam sejarahnya, menurut Awaluddin Djamin, keberadaan Polri yang langsung di bawah Presiden dalam sistem dan administrasi negara RI sudah ada sejak puluhan tahun dan diberi sebutan lembaga pemerintah non departemen, seperti juga Bakin, Lan, BKN, BKKBN, BKPM dan BPS.

Mengenai posisi dan kedudukan Polri masih menjadi persoalan tersendiri dikalangan Polri. Kedudukan Polri dibawah Presiden menimbulkan kekhawatiran dari banyak kalangan akan intervensi kekuasaan Presiden. Sehingga dipandang lebih baik di bawah departemen. Menurut Farouk gagasan itu tidak memecahkan masalah, karena akan semakin memperkuat status Polri bukan sebagai instrument of law tetapi menjadi instrument of policy, suatu perangkat departemen-departemen yang pembentukan dan pembubaranya merupakan hak prerogatif Presiden. Jika kekhawatirannya bahwa Presiden merupakan penguasa politik, maka di bawah departemen pun sama adanya. Berbeda dengan TNI di bawah departemen pertahanan yang hanya sebatas pembinaan kekuatan, sebagai aktivitas harian militer. Sedangkan Polri adalah institusi sehari-hari melaksanakan aktivitas operasional tanpa menunggu perintah dari siapapun (selalu berdasarkan hukum) sehingga setiap saat menggunakan kekuatan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola manajemen keamanan negara, Polri harus betul-betul menjadi lembaga yang mandiri, bebas dari intervensi lembaga negara lainnya.Bila misalnya suatu penyelidikan perkara korupsi atau kejahatan apapun, tidak boleh ada intervensi oleh atasan atau unsur kekuasaan lainnya. (Djamin, 1999). Diakui oleh kalangan Polri maupun kalangan masyarakat luas bahwa dengan ditempatkan Polri di bawah naungan TNI, maka bukan saja perilaku aparatur Polri yang mengikuti gaya militerisme tetapi juga menghambat fungsi utamanya dalam mengungkap berbagai kasus keamanan, termasuk penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparatur negara yang lainnya. Sistem pendidikan dan masalah anggaran tidak luput dari intervensi kekuasaan khususnya unsur utama dalam ABRI yakni TNI AD.

2. Sistem Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian dinegara manapun selalu berada dalams sebuah dilema kepentingan kekuasaan yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dengan masyarakatnya. Sistem Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control social yang diterapkan. Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih status menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Menteri. Ketetapan Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis hubungan vertikal sampai ketingkat plaing kecil seperti pada wilayah kecamatan-kecamatan.

Kedudukan kepolisian dalam sebuah Negara selalu menjadi kepentingan banyak pihak untuk duduk dan berada dibawah kekuasan. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian RI dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian di balut dengan budaya militer tersebut. Tahun 1998 tuntutan masyarakat bgitu kuat dalam upaya membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Maka selanjutnya Tap MPR No.VI/2000 dikeluarkan dan menyatakan bahwa salah satu tuntutan Reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI. Bahwa akibat dari penggabungan terjadi kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dan Polri sebagai kekuatan Kamtibmas. Maka Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Oleh karena itu Polri kembali dibawah Presiden setelah 32 tahun dibawah Menhankam/Panglima ABRI,Berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum, serta memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya Kamdagri. Karena dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa: (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas,, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. (2) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga / badan non departemen tapi di bawah Presiden dan Presiden sebagai Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan.

William Doener dan M.L. Dantzker, dalam bukunya ” contemporary Police Organization and Management, Issues and Trends“, menyatakan bahwa “Ketika pengamat membandingkan Sistem Kepolisian Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan di lain Negara, satu kunci perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian Amerika sangat terpisah, desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak Negara mengadopsi satu organisasi,biro, atau departemen untuk menegakkan hukum secara nasional.”

Karena sumberdaya dari sistem adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sistem untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam merealisasi tujuan. Sumberdaya ini termasuk orang atau manusia, uang, fasilitas dan peralatan, proses teknologi, informasi, dan berbagai sumberdaya lain diluar manusia. Selanjutnya jika dibedakan antara terbuka dan tertutup, maka berikut ini diambil definisi dari beberapa pakar. Open system is system which maintains it self while the matter and energy which enter it keep changing. The system is infuenced by, and influences, its environment and reaches a state of dynamic equilibrium in this environment. A Closed system has no interaction with its environment. Pendapat lain mengemukakan bahwa, sistem tertutup (Closed System) merupakan sebuah sistem yang terisolasi sama sekali daripada lingkungannya, sedangkan sistem terbuka (Open System) terus-menerus melaksanakan pertukaran informasi dengan lingkungannya (Winardi, hal. 138-139).

Dalam politik teori sistem yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan kekuasaan Negara. David Easton mengatakan bahwa masyarakat yang diferensiasi terbagi dalam berbagai peranan khusus yang timbul dalam sistem politik. Dalam kenyataannya suatu Negara pasti memiliki politisi, lembaga perwakilan, administrator, hakim-hakim, pemimpin-pemimpin politik dan semacamnya yang dapat diandalkan. Ketika memindahkan actor-aktor politik, pada saat yang sama juga memindahkan seluruh aktor-aktor lainnya orang-orang yang dilibatkan, keagamaan, lembaga-lembaga dalam pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik lainnya.

Standar yang harus dipakai dalam kerangka system adalah menempatkan system demokrasi sebagai sistem politik yang ideal dibandingkan dengan system lainnya yakni system otoriter. Pandangan tentang begitu positifnya demokrasi adalah bahwa system ini telah terbukti baik dalam mengatur umat manusia dan lembaga-lembaga Negara didalamnya selama berabad-abad lamanya. Negara adalah lembaga netral yang tidak boleh mengintervensi spesifikasi lembaga yang lainnya. Negara harus melindungi dan berdiri dalam semua golongan social dan politik. Menurut max Weber bahwa Negara adalah lembaga kemasyarakatan yang berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan daya paksa di suatu entitas dan kekuatan.

Menurut Arif Budiman bahwa Negara memiliki pesona daya paksa yang tinggi, yaitu. Pertama, negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam suatu masyarakat. Negara dapat mengintervensi dan memaksakan kehendaknya kepada warga Negara dan atau kepompok yang ada di dalam masyarakat, bahkan kalau perlu, Negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat atas perintah-perintah yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang besar diperoleh karena Negara merupakan kelembagaan kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, Negara dapat melaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil.

Konsep kekuasaan seperti itu sebenarnya telah lama dirumuskan oleh para filsuf, Plato, Aristoteles dan lainnya. Cita-citanya adalah di mana kekuasaan di pimpin dan dikendalikan oleh orang-orang yang berilmu. Mengingat menurut Plato bahwa kekuasaan itu memang jahat dan rakus. Thomas Hobbes juga mengatakan bahwa masyarakat itu serigala bagi yang lainnya karena itu harus dikendalikan oleh Negara yang kuat, dengan Negara yang kuat, maka akan menghasilkan ketertiban sosial dan hukum.

Nilai-nilai kekuasaan yang terkandung dalam demokrasi tak lagi memberikan pengayoman kepada masyarakat. Karena kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah adalah multak milik rakyat. Sehingga pemerintah sebagai penguasa atau pemegang kekuasaan Negara sebagaimana transisi yang terjadi di Indonesia harus dijalankan sebagai mana mestinya, artinya tidak perlu adanya intervensi kekuasaan didalamnya. Karena itu pendekatannya harus berdasarkan aturan hukum yang adil, dengan demikian hukum harus melindungi segenap rakyatnya. Perlindungan itu sendiri dijalankan berdasarkan undang-undang. Tetapi faktanya rakyat itu memang cenderung melakukan intervensi untuk kepentingannya sendiri. Dalam kosep Griddle (1966) juga menjelaskan banyaknya motivasi kekuasaan politik terhadap lembaga atau peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarnya (rent seeking politician). Bagi kepolisian sebagaimana tugas pokok yang diamanatkan dalam undang-undang dengan system kekuasaan yang mengkembiri nilai-nilai yang dibawa dalam kerangka tugas kepolisian akan menjadikan polisi sebagai sebuah lembaga dengan system yang keliru. Karena telah membalikan fakta rasional dengan kondisi yang diharapkan oleh masyarakat.



The system approach

Sumber: Johnson et.all, The Theory and Management of System, hal.18, 1973

Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:

1. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.

2. Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.

3. Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia.

Dari uraian trsebut di atas, maka ada beberapa pendapat yang saling mempermasalahkan kedudukan kepolisian dalam system kepolisian Indonesia yang ideal. Oleh karena itu memerlukan kajian yang integrated. Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of policing telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). Apakah sistem yang sekarang ini merupakan sistem Kepolisian yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?

Kepolisian Indonesia bukan Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian.. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian samapai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis kepada satuan bawah untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan karena dalam sistem peradilan pidana kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat kejadian perkaranya ( locus delicti).

Desentralisasi ini diatur Pasal 10 UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.

Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan. Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan paham masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional (undang-undang)

Dalam konteks ini, Polri sudah harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes polri yang berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus, yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara yang parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Selain itu, dapat dilakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri ataupun meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancara. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent), melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah , namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang cukub besar untuk, sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan pemilihan kepala daerah.



3. Struktur di bawah Presiden

Sesuai dengan pengalaman 10 tahun pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun Polri melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah presiden. Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan Kapolri di bawah Presiden telah menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini disebabkan karena posisi Kapolri yang langsung mengetahui permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang ada saat ini.

Secara Politik, Polri bisa langsung menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan tugasnya . Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam hal ini Kapolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara maupun kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara politik, kapolri akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan institutional sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam proses politik, untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu dihata dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

1. Fungsi Kepolisian

Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus, b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.

2. Tugas pokok Kepolisian

Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

2. Menegakkan hukum

3. Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “, penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.

3. Kewenangan Kepolisian

Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik Kepolisian.

Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi :

1)Pre-emtif

2) Preventif

3)Represif

Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah :

4. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif)

Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing tersebut. Namun, konsep dari Community Policing itu sendiri saat ini sudah bias dengan pelaksanaannya di Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan diatas, dalam mengadakan perbandingan sistem kepolisian Negara luar, selain harus dilihat dari administrasi pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia ( Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan ( siskamling) dalam komunitas-komunitas desa dan kampong, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing. Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiata-kegiatan khusus.

5. Tugas di bidang Preventif

Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional tekhnik tersendiri seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan pengaturan.

6. Tugas di bidang Represif

Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan. KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan menggunakan azas legalitasbersama unsure Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila terjadi tindak pidana, penyidik melakukan kegiatan berupa:

1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;

2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;

3. Mencari serta mengumpulkan bukti;

4. Membuat terang tindak pidana yang terjadi;

5. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.

4. Penutup

Dalam perkembangannya saat ini

Kepolisian Indonesia saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memasuki tahap yang memberi arah yang civilian, dimana pendekatan kemasyarakatan begitu kental terarah dalam setiap pasal dan bab yang ada dalam undang-undang kepolisian. Karena telah melihat kondisi terbalik pada masa Orde Baru yang cukup panjang, sehingga salah satu tuntutan reformasi tahun 1998 adalah mrefosisi kepolisian secara utuh. Saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, dan sekarang yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta melakukan pembenahan secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan Masyarakat melalui langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan melakukan efisensi dan efektifitas yang terkait dengan penggunaan tekhnologi Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam praktek-praktek kerja di lapangan.

Akhirnya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tentu akan memfosisikan kepolisian dalam sebuah kerangka yang benar, agar pembangunan system kepolisian mengarah pada posisi ideal. Banyak pengaruh politik dalam system kepolisian yang tidak dapat diabaikan dengan begitu saja. Karena posisi kepolisian dalam system kenegaraan mempunyai arti yang signfikan, dimana kepolisian bisa menjadi garda terdepan yang memberi peluang hubungan pemerintah dengan masnyarakat dalam banyak kepentingan.



==00==


Daftar Pustaka



Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 2002.

Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002.

Bambang W Umar, Penafsiran Kembali Simbol-Simbol Polisi, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002.

David Easton, Kerangka Kerja Sistem Politik, Bina Aksara, Jakarta, 1998.

Farouk Muhammad, Reformasi Kultiral Polri Dalam Konteks Pergeseran Paradigma Kepolisian abad 21, Pidato pengukuhan profesor, PTIK, 18 September 2004.

Johnson, Richard A; Kast, Fremon E [and] Rosenzweig, James E. The theory and management of systems. :McGraw-Hill. 1973.

M. Sastrapratedja, Pengantar, John Locke, Kuasa itu Milik Rakyat, Kanisius, Yogyakarta, 2002.

Muhammad Nasir, Presiden versus Polri dalam Transisi Demokrasi Indonesia, Madani Institut, 2004.

Sidratahta Mukhtar, Manajemen Keamanan Negara I dan II, makalah, FGD Propatria, dalam pembahasan RUU Kamnas, November 2005.

-------------- Sidratahta Mukhtar, Posisi Polisi Sebagai Kelompok Kepentingan Institusional dalam Negara, Jurnal Studi Kepolisian, PTIK, 2004.

UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Winardi. Pengantar teori sistem dan analisa sistem. Karya Nusantara. 1980.


Sabtu, 24 Juli 2010

Analisis; Faktor Penyebab Kecelakaan Lalulintas

Muhammad Nasir *))



Perkembangan tehnologi dan kemajuan masyarakat global merambat dengan cepat seiring dengan peningkatan tehnologi dan informasi yang telah menguasai dunia dalam berbagai ranah dan tingkatan. Saat ini kita mengenal berbagai tehnologi tinggi yang dikembangkan menembus batas-batas etika dan moral (khususnya bangsa timur) dalam pergaulan social budaya. Semua pergerakan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat konsumtif dilayani dengan menggunakan tehnologi yang begitu cepat tanpa harus mendatangi tempat yang menjadi obyek kegiatan. Kecepatan informasi dan pelayanan dalam bidang jasa dan public menimbulkan pemikiran cara cepat memberikan pelayanan secara nyata. Akhirnya penciptaan alat transportasi sebagai bagian pelayanan dalam perkembangan kecanggihan tehnologi dan informasi juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengejar profit.

Transportasi sebagai media untuk menyampaikan berbagai kebutuhan dan pelayanan kepada manusia berlomba-lomba memberikan penawaran dengan berbagai kelebihan dan keunggulan dari berbagai aspek sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Penciptaan bentuk, keluwesan, kecepatan, kemudahan akses, kenyamanan, keselamatan, harga dan berbagai factor lainnya menjadi jualan para marketing dalam mencari customer. Kita melihat auto show pada bulan Agustus lalu di Jakarta Convention Centre (JCC) Jakarta, begitu antusiasnya warga masyarakat, khususnya warga kota menjadikan pertunjukan tersebut untuk mencari dan melihat perkembangan tehnologi industri automotive dewasa serta kelebihan dari automotive yang sudah ada. Sudut mana yang lebih menguntungkan dan memudahkan dalam kebutuhan masyarakat tersebut.

Industri automotive sebagai penyumbang tunggal perkembangan dan pertambahan kendaraan bermotor di berbagai kota-kota besar di seluruh dunia, terus berinovasi guna menarik minat masyarakat untuk menikmati perkembangan kemajuan yang dijajakannya. Dalam kehidupan social dimasyarakat perkembangan dan pertambahan industri automotive mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menciptakan perkembangan kota dan pengaruh serta perputaran ekonomi dalam masyarakat. Karena dengan dibangunnya berbagai industri secara nyata mengurangi jumlah pengangguran yang di Indonesia yang telah mencapai 10,55 juta jiwa, tentunya juga akan memberikan siklus perputaran uang dalam masyarakat akan semakin menstabilkan ekonomi negara secara signifikan. Namun di sisi lain dengan perkembangan dan pertambahan kendaraan bermotor juga akan mempunyai masalah-masalah social tersendiri dalam transportasi khususnya dikota-kota besar seperti kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalulintas.

Kemajuan industri automotive mempunyai mempunyai problematika tersendiri dengan lalulintas di jalan. Masalah lalu lintas adalah kesenjangan yang terjadi antara das sein pengguna jalan yang ingin terciptanya keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas dengan das solen yang ada di lapangan. Masalah-masalah lalulintas dipisahkan dalam tiga kejadian yakni justru terjadi kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalulintas, secara normative dengan perkembangan kemajuan tehnology tersebut terciptanya keamanan, ketertiban, kelancaran dan keselamatan lalulintas bagi masyarakat, dimana dalam berlalulintas tiga kejadian tersebut saling mempunyai keterkaitan. Kemacetan dan pelanggaran lalu lintas merupakan kejadian faktual yang terlihat secara kasat mata oleh masyarakat dan berlangsung setiap hari, bahkan di Jakarta kemacetan hampir tidak mengenal waktu dan tempat. Namun bila kita jabarkan lebih dalam sebenarnya hal tersebut hanyalah permukaannya saja, ada faktor-faktor yang lebih mendasar dan lebih harus diutamakan guna pemecahan masalah-masalah lalulintas tersebut. Misalnya saja kegiatan-kegiatan masyarakat, lokasi perkantoran, tempat bisnis, pasar tumpah, terminal bus, tempat hiburan, parkir sampai pada rencana tata ruang dan tata kota, sistem moda transportasi, rencana dan kebijakan transportasi angkutan umum, peran pengusaha angkutan umum, peran pengemudi angkutan umum dan sebagainya. Inilah bagian yang selama ini belum dapat memberikan pencerahan dan edukasi secara nyata dalam perkembangan lalulintas dari hari ke hari yang tidak secara komprehensif dibenahi.

Kecelekaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak di sangka-sangka dan tidak di sengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda (Pearturan Pemerintah No. 43 tahun 1993). Secara normative kecelakaan lalulintas tidak dapat kita hindari mengingat kejadian tersebut bukan factor yang di sengaja oleh pengemudi atau pengguna jalan, tetapi lebih sebagai musibah yang harus di eliminir factor-faktor yang mengarah pada kejadian tersebut. Secara garis besar factor kecelakaan lalulintas dapat dikelompokan menjadi empat bagian yang sangat mempengaruhi yaitu manusia, kendaraan, infra struktur dan factor alam.



Manusia

Manusia adalah mahluk social yang mempunyai hati nurani dan dapat berpikir dalam memahami berbagai persoalan menyangkut hubungan social sesame mahluk ciptaan Tuhan maupun dalam memahami gejala alam. Dengan kemampun tersebut manusia dapat dibedakan dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya seperti hewan dan tumbuhan yang dapat berkembang mengikuti insting dan alam saja. Kelebihan tersebut juga mempunyai ekses yang membahayakan kelangsungan manusia itu sendiri bila di salah gunakan atau sengaja di lakukan untuk membahayakan atau mengakomodasi kepentingan secara sepihak. Dan bila kepentingan manusia tidak disertai dengan etika dan norma social maka kekuatan dan kemampuan yang dimiliki dapat lebih membahayakan dari binatang buas sekalipun.

Dalam kecelakaan lalulintas factor manusia sangat dominan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan lalulintas. Aspek yang melatarbelakangi sehingga menyebabkan kecelakaan lalulintas oleh manusia sangat multikompleks. Manusia adalah aspek terpenting dalam menjalankan mesin (kendaraan bermotor) walau secanggih apapun mesin diciptakan tetapi pengendali dominant berada ditangan manusia. Kita mengenal sebuah pernyataan yang cukup signifikan the man behind the gun sangatlah mengena dalam factor penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan. Mesin tak akan mempunyai arti bila yang menjalankan tidak mampu mengoperasionalkan secara maksimal, antara manfaat dan mudarat bisa saja berbalik lebih banyak mudaratnya bila tidak di jalankan secara baik dan benar. Mengambil sebuah contoh nyata yang di data oleh Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya di tahun 2006 jumlah kecelakaan lalulintas yang terdata mencapai angka 4.407 kejadian, factor penyebab kejadian dari hasil analisa dan keterangan yang dari hasil proses penyelidikan dan penyidikan kecelakaan lalu lintas didapat angka 3.092 disebabkan oleh manusia, 492 oleh factor kendaraan, 461 faktor infra struktur dan 31 oleh factor alam.

Dari data tersebut memang manusia menjadi factor dominant dalam kejadian kecelakaan lalulintas, namun dari aspek tersebut tidak menjadi tunggal tetapi banyak yang menjadikan hal tersebut sebagai factor yang signifikan. Dalam justifikasi pengendara kendaraan bermotor di jalan umum harus memiliki persyaratan yang diwajibkan secara konstitusi sebagai persyaratan yang legal formal. Ketentuan konstitusi tersebut diwajibkan kepada seluruh pengemudi kendaraan bermotor memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang dikeluarkan oleh Kepolisian khususnya Direktorat Lalulintas. Surat ijin mengemudi tersebut mempunyai klasifikasi sesuai dengan peruntukan kendaraan bermotor roda dua, tiga, empat, kendaraan umum dan beban sesuai bobot, kapasitas, peruntukan dan usia. Secara legal formal bagi mereka yang telah memiliki SIM tersebut dibenarkan secara hukum untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan umum. Kemampuan sertifikasi SIM yang telah dimiliki oleh para pengemudi merupakn surat ijin yang telah mempunyai kekuatan secara hukum dinyatakan mampu untuk menggunakan kendaraan bermotor dijalan umum secara aman, tertib serta mampu menjaga keselamatan pengguna jalan lainnya (sesuai amanat UU no 14 tahun 1992). Namun faktanya banyak dari mereka yang mempunyai sertifikasi tersebut terlibat dalam kecelakaan lalulintas, apalagi lagi mereka yang memang tidak mempunyai SIM kemungkinan terlibat dalam kecelakaan lalulintas lebih banyak lagi.

Prilaku masyarakat pengguna jalan yang dalam melakukan kegiatan-kegiatan lalulintas dijalan sangat memperihatinkan. Sikap kekeluargaan, saling pengertian dan untuk kepentingan bersama sebagaimana dalam asas lalulintas terabaikan dan lebih mendahulukan kecepatan tanpa memperhatikan pengguna jalan lain. Kondisi-kondisi seperti bila terabaikan tanpa melakukan rekayasa, tindakan-tindakan yang konstruktif untuk mengeliminir terjadinya kecelakaan lalulintas akan dijadikan pembenaran. Di sisi lain perilaku lalulintas dijalan merupakan etalase pembangunan peradaban bangsa di mata internasional. Di mana cerminan berlalulintas bagi negara-negara maju merupakan tingkat peradaban masyarakat dan bangsa mereka. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makasar selalu menjadi parameter dalam melihat tingkat prilaku masyarakat dalam mematuhi aturan lalulintas. Walaupun kota tersebut tidak mengakomodasi keseluruhan Indonesia. Budaya yang terbentuk dalam berlalulintas sebagaimana di katakan Suparlan bahwa lingkungan alam perkotaan banyak drubah dan dibentuk oleh penduduknya disesuaikan dengan kebutuhan dalam proses adaptasi mereka sehingga mewujudkan adanya suatu lingkungan perkotaan dalam adaptasi mereka (Parsudi Suparlan,2004;27). Dalam lanjutannya dikatakan bahwa lingkungan kota merupakan satu system yang terdiri dari berbagai segmen yang saling mendukung, yang secara keseluruhan merupakan suatu system yang satu. Artinya bahwa lalulintas di kota adalah salah satu segmen yang dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tetapi perilaku masyarakat tersebut banyak yang hanya memandang sebagai bagian yang terpisah dengan yang lain sehingga terabaikan dan tidak konfrehansif.

Factor lain dari manusia yang selalu juga menjadi bagian dari terjadinya kecelakaan lalulintas adalah bagaimana manusia menempatkan diri dalam melakukan kegiatan yang sesuai dengan kondisinya. Saat ini berkembang banyak persoalan social yang melilit kehidupan masyarakat kota secara umum. Misalnya sulitnya meningkatkan taraf hidup, mencari pekerjaan, perumahan, air bersih, pendidikan dan berbagai hal yang untuk membesarkan dan meningkatkan kehidupan keluarga (Suparlan,2004). Kesulitan tersebut juga andil dalam memberikan sumbangan kecelakaan lalulintas, misalnya usia yang sudah kurang signifikan dalam menjalankan kendaraan berlalulintas pada kemacetan, malam hari dan sebagainya. Di samping itu ada juga kelelahan yang disebabkan factor ekonomi sehingga terjadi pemaksaan kemampuan dalam memacu laju kendaraan, lamanya mengemudi dengan tidak berhenti dan sebagainya. Perilaku dan kondisi seperti ini sangat resisten terjadi pelanggaran yang di sengaja ataupun tidak. Yang pada akhirnya menimbulkan kecelakaan lalulintas yang menyebabkan kerugian pada kedua belah pihak, baik itu materi, luka bahkan mungkin korban jiwa. Dampak social dari masyarakat juga sangat berpengaruh signifikan dalam menambah deretan panjang item-item yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalulintas di lingkungan perkotaan.



Kendaraan Bermotor

Jakarta merupakan salah satu barometer aktivitas berlalulintas kendaraan bermotor di Indonesia telah menjadi perhatian masyarakat, pengamat dan bahkan kunjungan wisatawan asing yang mengeluhkan kemacetan lalulintas. Kita melihat peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia cukup signifikan. Dalam data Dit Lantas Polda Metro Jaya saja antara tahun 2005- 2006 terjadi peningkatan ………… kenaikan jumlah kendaraan di jalan tersebut akan menyisakan permasalahan baru dalam operasionalisasinya, mengingat pertambahan kendaraan di jalan harus membutuhkan keseimbangan sarana dan prasarananya serta kelengkapan jalan. Kalau kita melihat antara panjang jalan, luas jalan serta fasilitas yang harus dipenuhi sebagai perlengkapan jalan merupakan bagian integral dari kebutuhan lalulintas kendaraan bermotor di jalan. Hal tersebut termuat dalam Konstitusi yang mengatur tentang lalulintas dan angkutan jalan (UU No. 14 tahun 1992). Dimana disebutkan bahwa perlengkapan jalan harus dipenuhi oleh para stakeholder untuk menjamin keselamatan berlalulintas, disamping ada petugas yang mempunyai job description menjaga, mengatur, mengawal serta patroli dalam lalulintas kendaraan bermotor.

Mengapa factor kendaraan juga dapat menjadi factor yang dominant dalam kecelakaan lalulintas? Kita menyadari sepenuhnya bahwa kendaraan bermotor adalah sebuah mesin yang diciptakan oleh manusia untuk memudahkan kegiatan manusia dalam berbagai kebutuhan. The man behind the gun adalah sebuah statement yang sangat memperjelas bahwa eksistensi orang yang berada dibelakang mesin tetap sebagai pengendali dalam kegiatan. Namun kendaraan mempunyai berbagai perangkat yang dapat menyebabkan berbagai terjadinya insiden bila tidak memenuhi taraf standar yang dibutuhkan. Misalnya dalam ketentuan ada lima belas item yang harus diperiksa bila kendaraan tersebut dinyatakan laik jalan (UU No. 14 tahun 1992). Item-item tersebut pada dasarnya melekat dengan kendaraan dan dapat dilihat dan dirasakan oleh pengemudi dalam melakukan kegiatannya berkendara di kendaraan bermotor. Misalnya adalah kondisi rem, roda, kaca spion emisi gas buang dan lain sebagainya. Semuanya dapat dilihat dan dirasakan. Namun hal tersebut sering diabaikan oleh pengendara hanya untuk kepentingan sesaat dan bukan mengutamakan keselamatan jalan.

Belum lagi hal-hal yang menyangkut peruntukan dari kendaraan. Misalnya dalam ketentuan dan peruntukan yang disahkan secara hukum adalah kendaraan sepeda motor yang di design hanya untuk dua orang antara pengemudi dengan satu orang dibelakang yang membonceng. Dalam praktek secara nyata dan disadari banyak sekali kendaraan sepeda motor yang dinaiki lebih dari dua orang. Secara umum masyarakat pengguna sepeda motor mengetahui bahwa tidak dibenarkan secara hukum dan peruntukan kendaraan sepeda motor digunakan lebih dari dua orang. Apa yang salah.

Belum lagi kendaraan yang diperuntukan mengangkut dan membawa beban berat yang dibuatkan dalam box ataupun bak kendaraan yang terkadang salah menempatkan yang seharusnya diisi oleh barang tetapi diisi orang. Keondisi ini bukan saja terjadi dipinggiran kota, bahkan di Jakartapun masih ada kendaraan pick up yang digunakan untuk mengangkut orang dari satu tempat ke tempat lain. Begitu juga angkutan umum yang membawa penumpang melebihi kapasitasnya. Kemiringan kendaraan yang disesaki oleh penumpang yang melebihi telah banyak mengabaikan factor keselamatan jiwa penumpang dan pengguna jalan lain disekitar jalan yang dilalui oleh kendaraan tersebut. Di samping itu juga terkadang kendaraan angkutan umum yang mengangkut orang di atas kap kendaraan dengan kecepatan tinggi, tentu ini sangat membahayakan bagi pengenudi dan penumpang yang berada dalam pengawasannya. Hal tersebut terabaikan oleh pengemudi yang sebenarnya yang bersangkutan mengetahui hal tersebut tidak dibenarkan.

Begitu juga kendaraan dan kelaikan dalam beroperasi di jalan yang sampai saat ini belum dapat ditertibkan secara maksimal. Kendaraan-kendaraan bermotor roda dua, tiga, empat dan bahkan lebih, mempunyai keterbatasan kemampuan dalam operasionalnya. Dapat dilhat dengan tahun pembuatan yang sudah sangat usang tapi masih beroperasional dijalan yang bergabung dengan kendaraan lainnya. Kondisi berlalu lintas tersebut sangat tidak nyaman mengingat kendaraan yang sudah usang mempunyai banyak kelemahan yang sudah tidak laik lagi untuk beroperasional, mulai dari kecepatan, kondisi kendaraan, perlengkapan kendaraan serta banyak lain yang tidak terpenuhi dengan situasi saat ini.

Semua permasalahan dalam faktor kendaraan ini terkait dengan situasi sosial masyarakat dalam lingkungan kota. Apa yang dikatakan Suparlan bahwa lingkungan hidup di perkotaan menyangkut udara, tanah, air, gedung, jalan, pasar, kantor, mausia, hewan, sosial, ekeonomi dan banyak faktor lain sebagai mahluk sosial, ataupun mahluk biologi merupakan satu kesatuan yang terbentuk secara terus-menerus. Dengan kondisi lalulintas seperti tersebut di atas, jelas bahwa aspek lain seperti ekonomi, sosial sangat berpengaruh dengan kondisi kendaraan yang ada di jalan. Bagaimanapun kita tidak dapat melepaskan kultural dan sosial yang ada di perkotaan yang terbentuk secara terus-menerus, namun bagaimanapun harus ada regulasi yang tepat untuk mengeliminir faktor-faktor penyebab kecelakaan lalulintas terjadi di jalan secara berkelanjutan. Pembangunan ini dimaksudkan sebagai menaifestasi bagi kelangsungan berlalulintas dengan baik dan aman bagi semua pengguna jalan dengan tetap memperhatikan asas manfaat dan kekeluargaan.



Sarana Prasarana

Kecelakaan lalulintas yang terjadi dari kegiatan-kegiatan berlalulintas di jalan bukan hanya terjadi oleh factor yang disebebkan oleh keadaan yang berjalan atau yang menjalani. Tetapi juga disebabkan oleh sarana dan prasarana serta perlengkapan yang mendukung proses kegiatan berlalulintas. Misalnya saja kondisi jalan yang tidak cukup baik dilalui untuk kendaraan bermotor rodadua berkrikil, lubang, debu atau kondisi jalan lainnya yang tidak dimungkinan bagi pengendara sepeda motor dapat melintas dengan baik dan aman. Sehingga kendaraan rodadua tersebut jatuh atau mengambil lajur lain yang mengakibatkan kendaraan lain dibelakang mengerem mendadak sehingga terjadi tabrakan atau senggolan sehingga benturan antara pengguna jalan tidak dapat dihindari oleh pengemudi. Analias kecelakaan lalulintas seperti tersebut tidak memerlukan pencarian yang memakan waktu dan tempat, tapi dpat dilihat kondisi tersebut di jalan-jalan yang ada disekitar kita. Kecelakaan lalulintas bukan saja disebabkan oleh manusia sebagai pengendali jalannya mesin tetapi juga oleh sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang terjadinya lalulintas di jalan secara baik. Kondisi jalan yang berlubang dalam situasi malam akan sangat membahayakan pengguna jalan, apalagi tidak diberi tanda pada lubang tersebut juga merupakan hazard akan menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan lalulintas secara permanen. Walaupun dalam unit kendaraan bermotor dilengakpi dengan lampu penerang utama yang dapat melihat jauh ke depan sepanjang sinar lampu yang disediakan, tetapi dalam kecepatan tinggi perhatian mata pengemudi dengan jarak yang cukup dekat mengambil langkah untuk menentukan atau pindah lajur memerlukan aspek lain, misalnya memperhatikan kendaraan yang akan diambil lajurnya oleh pengemudi tersebut. Hal lain yang juga harus diperhatikan bagaimana pindah lajur dalam situasi mendadak atau seketika, sehingga sangat dimungkinkan terjadinya kecelakaan lalulintas akibat dari keadaan tersebut. Begitu juga dengan factor arus lalulintas yang ramai dan mempunyai resiko yang tinggi bila kita mengambil langkah hanya untuk kepentingan kendaraan yang kita kemudikan saja tanpa harus memperhatikan pengguna jalan lain. Kecelakaan sebagaimana diuraikan dalam peraturan pemerintah bahwa kejadian tersebut sesaat dan tanpa di sengaja. Sehingga resisten bila pengemudi tidak berlaku hati-hati dalam membawa kendaraan di jalan.

Sarana dan prasana jalan bukan hanya factor jalan dalam kondisi rusak tetapi juga hal lain, seperti peruntukan jalan, persimpangan jalan, penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan orang, penerangan jalan, rambu dan marka jalan yang masih sangat memerlukan konsentrasi yang lebih intens dari regualator. Tatacara berlalulintas di Indonesia yang mengambil jalur jalan di sebelah kiri (pasal 51 (1) PP 43/1993) artinya bahwa dalam menggunakan kendaraan berlalulintas menggunakan jalur sebelah kiri, walaupun dimungkinkan selain jalur kiri tersebut apabila ada maksud untuk mendahului kendaraan yang berada di depannya, atau ada petugas atau rambu yang mengatur untuk itu. Atau juga jalan yang disebelah kiri sedang diperbaiki yang tidak dimungkinkan untuk dilewati dan diharuskan mengambil lanjur disebelah kanannya. Dalam penjelasan di peraturan tersebut juga diperbolehkan apabila kendaraan akan membelok ke kanan atau ada perbaikan jalan yang sedang dilakukan oleh petugas. Dapat dipahami bahwa dalam hal instrument berlalulintas sudah diatur dengan sangat rigit agar kegiatan berlalulintas dapat berjalan dengan baik dan selamat.

Realitas yang terjadi dalam lalulintas di Indonesia khusunya Jakarta sangat memperiahtinkan kemacetan lalulintas, saling menyereobot dan bahkan mengambil jalur yang berlawanan (contra) dapat dilihat pada berbagai beat jalan. Mengambil alih lajur jalan yang berlawanan dalam berlalulintas dilakukan oleh para pengemudi kendaraan bermotor adalah karena kemacetan atau daya tampung jalan dengan jumlah kendaraan yang melewati jalan tersebut tidak seimbang dengan perbandingan yang seharusnya sangat membahayakan pengemudi dan pengguna jalan lain. Tindakan polisi sebagai operator lapangan dalam lalulintas juga mengambil tindakan “diskresinya” untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tetap memperhatikan bahwa jalur tersebut aman untuk dilalui dari arah yang berlawanan dapat dibenarkan sepanjang diatur oleh petugas, dipasng rambu petunjuk dan ada batas dan jelas dapat dilihat oleh pengemudi lainnya. Walaupun untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jalan factor keselamatan dalam berlalu lintas tetap pebih diutamakan. Karena keselamatan dalam berlalu lintas adalah bagian akhir dari tujuan yang akan dicapai dalam berlalulintas.

Alat pemberi isyarat lalulintas atau yang lebih umum dikenal masyarakat adalah traffic light atau lampu merah merupakan perlengkapan jalan yang mempunyai dasar hukum dan mempunyai kekuatan hukum, apabila pengemudi melakukan pelanggaran dengan melanggar perintah dan larangan rambu tersebut dikenai sanksi dan denda yang di atur oleh undang-undang dan diselesaikan oleh pihak crime justic system (CJS). Lampu lalulintas juga sangat dominant dalam meng-infut data sebagai factor penyebab kecelakaan lalulintas yang dimulai dari penlanggaran lampu lalulintas oleh pengguna jalan tersebut. Karena lampu pengatur lalulintas bertujuan mengatur pengguna jalan agar terjadi keseimbangan pada jalan yang dipasangi lampu pengatur lalulintas tersebut pada tiap persimpangan jalan, juga diharapkan terjadi ketertiban sesama pengguna jalan dan terhindar dari kecelakaan lalulintas. Traffic light ini merupakan bagian dari factor sarana dan prasarana lalulintas yang juga mempunyai konsekuensi hokum disamping dapat menimbulkan berbagai permasalahan lainnya dibidang lalulintas, misalnya kemacetan, pelanggaran dan mungkin kesemerawutan dapat diciptakan dengan pelanggaran lampu merah tersebut.

Disamping itu, prasarana lain yang juga mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan lalulintas adalah jembatan penyebrangan orang (JPO). Di Jakarta khususnya jembatan penyeberangan orang memang suatu yang urgen dalam perlengkapan jalan meningat kuantitas intensitas penggunaan jalan oleh kendaraan bermotor serta kecepatan yang cukup signifikan mangharuskan penyebrang jalan menggunakan jembatan penyebrangan yang sesuai. Kita melihat secara kasat mata pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor sangat egois dalam memberikan hak bagi pengguna jalan lainnya, apalagi penguna jalan yang tidak bermesin, seperti pejalan kaki atau kendaraan yang tidak bermesin. Dalam UU lalulintas di jelaskan bahwa pengguna jalan adalah selain kendaraan bermotor juga kendaraan tidak bermotor, pejalan kaki dan hewan. Jadi bukan suatu alasan pembenar kepada pengendara kendaraan bermotor yang mengesampingkan pengguna jalan yang tidak bermotor. Karena pejalan kaki, penyebrang jalan dan kendaraan yang tidak bermsin mempunyai kedudukan yang sama dalam llalulintas sesuai dengan peruntukannya. JPO selain mempunyai fungsi bagi pejalan kaki juga untuk menghindari terjadinya kecelakaan dan kemacetan lalulintas dalam beraktivitas. Hal ini dimaksudkan sesuai dengan fungsinya sebagai kendaraan bermotor yang mobile dapat bergerak dengan lebih cepat dan tepat dari pada pejalan kaki atau kendaraan yang tidak bermesin.

Selain JPO dalam perlengkapan jalan yang lain yang mempunyai kontribusi penyebab kecelakaan lalulintas adalah lampu penerangan jalan. Lampu penerangan jalan memang hanya dapat berfungsi pada malam hari atau keadaan siang yang cukup gelap. Bisa juga kondisi lain yang disebabkan oleh factor alam seperti hujan dan kabut. Lampu penerangan jalan sangat dibutuhkan oleh penggguna jalan untuk lebih dapat mengetahui jalanan dan kondisi sebenarnya di depan jalan yang akan dilalui. Mulai dari pengguna jalan lainnya sampai pada kondisi jalan serta rambu-rambu petunjuk yang telah ditetapkan dan dipasang oleh para regualator untuk menjamin tertib, aman, lancar dan selamat dalam berlalulintas. Faktor keselamatan jalan dari aspek penerangan jalan memaang sering memakan korban jiwa, mengingat kondisi jalan walaupun ada penerangan jalan, ada lampu besar di depan yang menerangi namun hal tersebut kurang mempunyai keleluasaan dalam memandang seperti siang hari. Sehingga bila terjadi kecelakaan akibat dari pandangan yang kurang jelas mengakibatkan korban yang sangat fatal. Apalagi keadaan gelap sangat membutakan mata bukan saja pengemudi kendaraan bermotor tetapi juga pengguna jalan lain seperti pejalan kaki atau kendaraan yang tidak bermesin. Oleh karenanya lampu penerangan jalan mutlak dan harus dapat dilengkapi dalam lalulintas jalan.



Alam

Alam merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dari semua permasalahan sosial di dunia, begitu juga masalah lalulintas. Kecelakaan lalulintas yang diakibatkan faktor alam memang jarang terjadi dalam kondisi alam yang wajar. Namun hal tersebut dapat menimbulkan korban yang signifikan bila tejadi hal-hal yang disebabkan oleh kejadian alam. Misalnya, gempa bumi, banjir, longsor, kebakaran, cuaca, kabut dan kajadian alam lainnya. Biasanya kecelakaan yang disebabkan faktor alam memang tidak dapat dihindari namun kondisi tersebut dapat di analisa dengan kejadian-kejadian pendahulu sebelum kejadian alam tersebut terjadi dan meminta korban jiwa, apalagi dalam kecelakaan lalulintas. Keadaan hujan yang terus-menerus terjadi sepanjang hari dapat menyebabkan banjir pada bagian jalan atau sebahagian jalan yang secara geografis lebih rendah atau kondisi lingkungan yang tidak dapat menampung air dalam jumlah yang besar. Gejala tersebut sudah dapat di analisa dan perkirakan bahwa keadaan tersebut dapat menganggu arus lalulintas dan pengguna jalan lainnya. Apabila dibiarkan tanpa adanya fungsi kontrol dari operator dilapangan tentu kecelakaan lalulintas tidak dapat kita hindari. Begitu juga dengan gunung yang meletus, longsor dan atau gempa bumi sekalipun pada tahapan yang paling awal dapat dilihat bahwa akan ada kejadian alam yang terjadi dilingkungan jalan tersebut dengan kondisi-kondisi yang terjadi saat-saat terakhir. Misalnya hujan dengan kondisi jalan yang tinggi di tebing sangat memungkinkan terjadi longsor, begitu juga dengan yang lain. Oleh karenyanya aspek yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalulintas cukup banyak dan harus mulai di eliminir mulai dari sekarang.

Faktor-faktor alam tersebut memang masih dapat dianalisis dan dihindari sedini mungkin dengan memperhatikan kondisi alam yang sebenarnya. Memang masih ada faktor alam terjadi yang tidak didapat ditebak sebelumnya. Seperti gempa bumi yang sering terjadi diwilayah Indonesia tidak dapat dideteksi secara signifikan. Bagaimanapun usaha untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan lalulintas adalah untuk menghindari korban jiwa dan meteri yang terus bertambah dari tahun ke tahun.



Faktor lain

Kecelakaan lalulintas di dunia saat ini bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan berkembangnya kemajuan tehnologi dan informasi dunia yang begitu cepat dan mudah untuk di akses. Dalam memperingati hari kecelakaan laluintas dunia pada bulan Agustus 2007 kemarin di Korea Selatan, Michael Shumacer seorang pembalap motor dan mobil dunia dijadikan icon yang membuka tentang keselamatan berlalulintas. Dalam kesempatan tersebut Shumacer mengutif data PBB bahwa korban kematian manusia akibat dari kecelakaan lalulintas di dunia selama satu tahun 2006 telah mencapai 11 juta jiwa. Jumlah korban jiwa ini merupakan korban terbesar kematian manusia dalam akibat yang ditimbulkan dari aktivitas manusia, selain perang dan korban serangan virus yang meninggal sia-sia.



Dalam perkembangan kemajuan tehnologi dan informasi dunia bukan hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan financial tinggi, tetapi kemajuan tehnologi tersebut juga dinikmati oleh lampisan masyarakat kelas bawah sekalipun. Kemajuan alat elektronik seperi hand phone, tv, lcd, tape, radio dan alat elektronik lain yang dipasang dalam kendaraan mobil atau sepeda motor sebagai aksesoris kendaraan bermotor, saat ini menimbulkan permasalahan baru. Kecelakaan lalulintas yang disebabkan oleh pengemudi yang menggunakan hand phone saat mengemudi saat ini telah mencapai tingkat yang memperihatikna, sehingga beberapa negara seperti singapura dan beberapa negara-negara di eropa telah membuat peraturan yang melarang pengemudi menggunakan peralatan tersebut saat mengemudikan kendaraan di jalan. Perkembangan tersebut belum mempunyai aturan yang baku namun hal tersebut terjadi dan bahkan faktor tersebut juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Menonton televisi atau video di dalam kendaraan memang merupakan hak setiap orang dan tidak dapat disangkal, tetapi keselamatan pengemudi atau pengguna jalan sangatlah penting dari semuanya itu. Pembatasan dan larangan yang digunakan oleh petugas atau stakeholder yang mempunyai kepentingan tersebut bukan untuk membatasi orang tetapi lebih memberikan jaminan atas keselamatan orang dan pengguna jalan. Sehingga perkembangan kemajuan tehnologi juga harus diikuti dengan ketentuan-ketentuan dan operator yang dapat menjamin terjadinya aktivitas berlalulintas dengan aman dan selamat.



Daftar pustaka

- Suparlan, Supardi. 2004, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan; Perspektif Antropologi Perkotaan.

- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992

- Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1993.

- Data Kecelakaan Lalulintas Ditlantas Polda Metro Jaya

- Data Kendaraan Bermotor Ditlantas Polda Metro Jaya

Rabu, 19 Mei 2010

POLITIK DESA MASA KEMERDEKAAN, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI

Oleh : Muhammad Nasir

Pendahuluan

Dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia, desa memiliki dinamika peran sejarah tersendiri karena sebelum bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pun, desa telah menjadi suatu institusi politik yang kuat. Sebutan desa (Suhartono,2000 hal 9) mulanya hanya dikenal dalam masyarakat Jawa, sementara misalnya di Bali dikenal dengan dusun, Marga di Sumatera selatan, nagari (sumatra), huta (batak) dll. Tetapi apapun istilah yang digunakan, tetapi desa secara sosiologis mengandung makna kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal yang homogen, tergantung pada alam dan berada diluar kota atau pedalaman dalam entitas tertentu.

Tulisan ini akan mencoba mengetengahkan bagaimana perkembangan politik desa mulai dari masa awal kemerdekaan, perkembangan politik desa selama Orde baru dan perubahan-perubahannya selama reformasi tahun 1998. Disamping penulis akan mengaitkan dengan politisasi dan depolitisasi desa khususnya selama kepemimpinan Orde Baru.



Munculnya Politik Desa

Politik desa mengalami pasang surut ditengah pergulatan mencari identitas Republik ini. Era feodalisme dijaman raja-raja pra kolonial politik desa sangat diwarnai oleh dominasi para tuan tanah yang kemudian menjadi elit di pedesaan (Suzzan K. 1998), sehingga masyarakat desa hanya dimobilisasi untuk kepentingan tenaga kerja, dan raja (para tuan tanah) itu menjadi pemilik dan pengatur kehidupan masyarakat desa. Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat desa pun harus menerima kenyataan penjajah bangsa Eropa (Belanda) yang disamping pengeksploitasi desa, mengambil alih kepemilikan atas tanah ulayat masyarakat desa sampai pada memaksa untuk menjadi buruh kepada belanda dengan sistem Tanam Paksa (Hans Anlof (2001) dan Suhartono, Opcit). Masuknya penjajah merupakan kelanjutan dari depolitisasi masyarakat desa karena antara kaum penjajah dengan para raja melakukan kerjasama politik untuk menundukan masyarakat desa.

Menariknya, meskipun ditengah kengkraman feodalisme raja dan penjajah desa tetap berkembang menjadi desa yang demokratis. Adalah Hatta (dalam Suhartono) menilai bahwa desa mengandung ciri-ciri sebagai masyarakat yang demokratis yakni adanya rapat desa (tempat dimana rakyat bermusyarawah dan bermufakat), adanya hak-hak untuk mengadakan protes dan mulai adanya kesadaran untuk melakukan tolong menolong diantara sesamannya. Kondisi itu mungkin dapat meruntuhkan argumentasi rasionalitas politik barat bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dalam iklim politik yang demokratis (tanpa sistem feodalisme dan kolonialisme) argumentasi universalitas demokrasi yang dipandang barat lahir dalam kondisi dimana kebebasan dijamin oleh konstitusi yang juga ditandai dengan persamaan kedudukan dimuka hukum dan adanya perbedaan dapat terbantahkan oleh suatu kenyataan politik desa yang dapat mengembangkan demokrasi di atas tekanan (kengkraman) atas kebebasan dan persamaan derajat (Nasir,2002).

Konstatasi di atas menjadi wacana awal ketika membahas bagaimana perubahan-perubahan politik dipedesaan dari masa ke masa setelah kita mencapai kemerdekaan, lima puluh lima tahun silam.



Politik Desa Masa Kemerdekaan

Keberhasilan para pendiri negara merebut kemerdekaan tahun 1945, tentunya membawa perubahan penting dalam politik pedesaan. Karena berarti bahwa kemerdekaan yang terpenting adalah kemerdekaan dibidang politik. Partai-partai politik di pedesaan berusaha membangun politik desa dengan pertama-tama menghilangkan nilai-nilai kolonialisme khususnya sistem ekonomi kapitalisme di desa akibat pengaruh kolonial. Dalam catanan (Sosialismanto, 2001, hal 4 ) misalnya pada tahun 1957, setelah sengketa Irian Jaya Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia.

Pembangunan politik desa tentu diperlukan persiapan yang matang, salah satunya adalah bagaimana menyiapkan sistem ekonomi kerakyatan (pertanian) sebagai basis utama demokrasi politik di desa. Ada dua paradigma dalam pengembangan sistem politik di Indonesia, yang pertama indonesia baru saja memasuki dunia yang lepas dari kengkraman kolonial yang ingin menata dan mengambil alih struktur kekuasaan dari tangan penjajah dan yang kedua adalah bahwa menjalankan demokratisasi yang merupakan reslisasi dari kemerdekaan (Suhartono, 2001). Hal ini membuat suatu kegelisahan dimana bangsa ini sangat mendambakan suatu sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan rakyatnya dan disisi lain kita juga terbentur dengan kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Parlemen desa yang merupakan tempat kekuatan masyarakat dan berkumpul di tingkat grass root sangat mengharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat secara komprehensip untuk menjamin adanya pemerintahan yang demokratis.

Parlemen desa adalah organisasi politik yang mulai dikenal sangat masif oleh masyarakat desa. Perkembangan politik masyarakat desa di Jawa jaman kemerdekaan merupakan ideologi komunal dari pada ideologi rasional tetapi bila dilihat dalam aspek pendidikan politik sudah mengalami kemajuan, apalagi sebelumnya demokrasi sudah sangat membudaya dalam masyarakat kita. Sosialismanto (ibid) melihat dari sudut analisis ekonomi politik, peranan desa sebagai organisasi kekuasaan telah mengalami pergeseran peranan, berbeda dengan desa masa kolonial yang eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alamnya. Desa masa orde lama telah memperkenalkan dunia politik (politisasi) yang bergerak pada masyarakat desa. Munculnya politisasi disatu sisi berakibat pada disharmonisasi kehidupan pedesaan yang harmonis, komunalis dan ikatan sosial yang kuat.

Pada pertengahan 1965 ideologi nasional berkembang di desa dengan pendekatan ideologi yang bersifat komunalistik. Apalagi setelah masuknya PKI dipedesaan dengan ideologi politik yang membela kaum tani desa memicu konfliks-konfliks politik di desa. Politik pedesaan masa demokrasi terpimpin akhir Orde lama memperlihatkan adanya ketidakstabilan politik di akar rumput. Dan bahkan pada saat Sukarno mengenalkan idiologi Nasakom (nasionalis, agama dan Komunis), Partai Komunis Indonesia telah mendominasi kekuatan politik di pedesaan dengan basis politik pertanian (Suhartono, 2001).

Hal itu menunjukkan bahwa masuknya politik di desa menyebabkan masalah baru dalam masyarakat desa. Identitas kultural desa menjadi berubah seperti dalam kehidupan masyarakat perkotaan.

Suasana politik desa sangat dipengaruhi oleh realitas politik demokrasi terpimpin (guided democracy) yang mengedepankan praktek politik utopis dimana konsepsi demokrasi terpimpin tidak dapat membantu demokratisasi di wilayah pedesaan. Pergolakan politik pertama tahun 1955 yang demokratis membuat adanya partisipasi politik desa yang lebih menonjol dari pada sebelumnya, Desa yang semula tidak menjadi panggung politik sebagai akibat demokratisasi 1955 menjadi panggung politik penting. Indikator ini bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, berlangsungnya partisipasi warga negara, kedua, terjadinya polarisasi dan friksi politik desa.



Politik Desa Masa Orde Baru

Munculnya era Orde baru di bawah Presiden Soeharto segera setelah duketa PKI yang gagal dalam mengganti idiologi dalam perebutan kekuasaan negara, memunculkan adanya pemikiran untuk kembali kepada semangat UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam tesis kekuasaan Soeharto bahwa penyelewengan kepada semangat UUD 1945 dan Pancasila sesebabkan oleh paradigma pembangunan yang lebih menonjolkan kebebasan politik warga negara. Oleh karena itu Orde baru menerapkan strategis stabilitas politik dan pertumbuhan (ekonomi). Dalam konteks politik Soeharto menjadikan masyarakat desa sebagai masyarakat yang diambangkan (floating mass). Hal itu berpengaruh penting pada perubahan masyarakat desa yang semula berproses melalui pendekatan politik berubah menjadi birokrat desa. Sistem pemerintah desa berubah menjadi media birokrasi pedesaan negara Orde baru. Duta Sosialismanto mengemukakan bahwa:

Pilihan yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru untuk melakukan modernisasi di Indonesia adalah menempatkan pembangunan politik sebagai subordinat dari pembangunan ekonomi. Pengalaman pahit pada masa demokrasi liberal menunjukkan bahwa stabilitas politik merupakan syarat mutlak bagi adanya pemerintahan yang stabil yang cukup mempunyai waktu untuk merealisasikan program-program. Bukti masyarakat desa sebagai floating mass dalam pemilihan umum”



Kuntowijoyo (dalam Duta S:2001) menulis bahwa gabungan kekuatan sejarah tertentu masyarakat desa kembali kepada “kawula” masyarakat desa harus belajar dari awal dalam kondisi sosial ekonomi yang baru, sebelum mereka sungguh-sungguh memasuki tahap demokrasi. Sementara itu diferensiasi sosial yang sudah terjadi dipedesaan sudah lama berjalan tanpa henti-hentinya. Disamping muncul faktor-faktor integratif tetapi juga semakin memudarnya nilai-nilai demokrasi asli desa seperti gotong royong, musyawarah mufakat untuk memutuskan suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum (masyarakat desa).

Dinamika pembangunan Orde baru yang tengah mengejar ketertinggalan dalam sektor ekonomi (dalam perspektif pertumbuhan Orde baru) menggeser dinamika masyarakat desa dari politik ke ekonomi. Istitusi politik desa yang sebelumnya kuat dengan konfigurasi politk desanya berubah menjadi lembaga-lembaga seperti Koperasi Unit Desa (KUD). Institusi ini bukan saja berfungsi untuk melakukan monopoli hasil-hasil pertanian di desa tetapi juga menggeser tradisi dari pertanian tradisional (barter) menjadi ekonomi pertanian modern. Sehingga jangan heran kemudian muncul semacam kapitalisme masyarakat desa. Struktur elite desa (tuan tanah) berubah menjadi elite baru (birokrat desa) yang loyal terhadap negara orde baru.

Dalam bidang pemerintah mulai juga berubah dimana muncul kooptasi negara terhadap desa, kelembagaan birokrasi negara segera masuk dan berkembang di desa. Seluruh Indonesia diterapkan dengan pendekatan struktur top down yang disamaratakan sehingga menghilangkan identitas desa atau nagari atau sebutan yang lainnya. Birokrasi masuk desa semacam ini membawa dampak masa mengambang di desa. Birokratisasi desa yang merupakan bagian dari Golkar disatu sisi, dan sementara itu, partai politik (PDI dan PPP) tidak diperbolehkan sampai pada masyarakat desa.

Sehingga sebetulnya selama Orde baru berkuasa masyarakat desa mengalami kemandekan pertumbuhan dibidang politik karena saluran aspirasi politiknya sama-sekali tidak diberikan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat desa sebagai masyarakat mayoritas di negeri agraris ini hanyalah menjadi sumber legitimasi politik kekuasan Orde baru, dalam pemilu Orde baru yang penuh dengan rekayasa.

Dampak lain dari kebijakan politik masa mengambang Orde baru adalah nampak pada munculnya mental fatique (sikap apolitis) sehingga masyarakat desa sangat apolitis dalam kehidupan politik dan bahkan mereka mengalami trauma sekali. Lembaga-lembaga masyarakat desa seperti LMD dan LKMD bahkan organisasi untuk kepentingan petani desa seperti forum tani dan lain-lain. Inisiatif pembentukannya lebih banyak dipengaruhi oleh peran birokrasi tingkat desa pada atas dasar musyawarah dan mufakat masyarakat desa sendiri.

UU nomor 5 tahun 1979 dinilai para ahli politik seperti Donald K Emerson sebagai intervensi negara terhadap masyarakat, konstitusi nomor 5 itu adalah awal dari politisasi negara. Konsepsi desa juga dianggap sebagai model penyeragaman politik (political uniform) pemerintah terhadap masyarakat Indonesia yang pluralistik S. Wiratno (1979) melihat desa masa orde baru sebagai berikut:

1. Adanya pemisahan antara kelurahan dengan desa yang otonom.

2. Secara nasional pemerintah terrendah di desa dipegang oleh pegawai negeri.

3. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa.

4. Pengukuhan kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa.

5. Penyeragaman struktur organisasi pemerintah desa.

Karena itulah berarti bahwa posisi masyarakat desa menjadi dependent society (masyarakat bergantung) dari pada independent society (masyarakat yang independen) dimana peran negara desa begitu sentral dalam proses pengambilan keputusan di desa.

Perkembangan Muktahir Politik desa era reformasi

Terjadinya pergantian dari Orde baru kepada Orde reformasi sejak 1998 telah menyebabkan kemunculan kembali kekuatan-kekuatan politik desa. Masyarakat desa mengalami proses partisipasi politik yang termobilisasi oleh faktor birokrasi pemerintah desa. Meskipun, dinamika politik pasca Orde baru itu lebih bersifat “democrazy” (kebebasan yang anarkis) tetapi yang paling penting adalah ketika dimunculkannya perubahan paradigma pembangunan dari orientasi struktural birokrasi sentralistik berubah menjadi sistem birokrasi desentralistik. Adanya kebijakan otonomi daerah melalui UU /22/1999 lalu menegaskan tentang pentingnya penguatan masyarakat ditingkat akar rumput (masyarakat pedesaan).

Kelahiran Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai turunan dari konstitusi otonomi itu harus dilihat sebagai peluang strategis membangun desa kembali. Sebagai parlemen desa, BPD memang belum memiliki kerangka teknis dari pemerintah daerah. Tetapi justru disitulah kelihatan betapa pentingnya peran masyarakat dalam merumuskan kebijakan politik desa termasuk melibatkan diri dalam suksesi kepala desa secara demokratis.

BPD sebagai institusi baru ditengah masyarakat yang mengalami kemandekan peran secara politik adalah suatu yang tidak gampang untuk sampai kepada konsepsi yang ideal yakni BPD sebagai mitra kritis pemerintah desa dan sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat di desa. Bagaimana pun proses perubahan politik desa masa reformasi yang baru berjalan empat tahun lebih ini sebagai embrio dimana partisipasi masyarakat desa yang otonom itu dapat segera terwujud menjadi kenyataan.

Upaya pendahuluan tentunya harus dimulai dengan mengembangkan kesadaran politik desa dengan beberapa cara. Pertama, melakukan revitalisasi terhadap budaya demokrasi yang sempat terabaikan khususnya selama massa Orde baru yang tentunya dengan pendekatan dialogis dan partisipatoris. Kedua, memperkuat ekonomi masyarakat berbasis sistem pertanian neomodernisme (mengolah pertanian dengan memadukan antara sistem tradisional dengan tekhnologi modern). Dengan kuatnya ekonomi masyarakat, maka akan dapat memperkuat partisipasi politik masyarakat secara otonom. Ketiga, melakukan proses sosialisasi yang intens tentang otonomi daerah yang disertai dengan pembentukan wadah-wadah penyangga demokratisasi desa diluar parlemen seperti forum alternatif yang menjadi pengawal parlemen desa maupun pemerintahan desa.

Bila upaya-upaya strategis itu dapat dilakukan, maka akan sangat pemantu kearah pembangunan politik desa yang bersifat berkelanjutan. Demokrasi bukan berarti tinggal mengadopsi seperti apa yang diterapkan dalam masyarakat demokratis barat tetapi dapat berupa suatu sistem demokrasi yang bersifat local genius artinya akar demokrasi lahir dari tradisi sosial budaya masyarakat desa di Indonesia. Demokrasi terpimpin, liberal dan pancasila telah mengalami kegagalan tetapi demokrasi desa merupakan harapan ditengah transisi menuju demokrasi yang sedang mngecewakan masyarakat Indonesia dewasa ini.



Kelebihan dan Kekurangan

Desa di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam waktu yang sangat panjang, sehingga meskipun diterapkan sistem feodalisme atau kepempinpinan yang otoriter, tetapi tidak serta merta merubah budaya politik yang demokratis, karena budaya ini telah berkembang lebih awal sejak jaman raja-raja walaupun dalam kepemimpinan-kepemimpinan di Jawa Anlov mengatakan para tuan-tuan tanah sangat bersikap otoriter. Diawal orde lama politik desa mengalami masa kejayaan seiring dengan sistim politik yang Pluralistik sebelum kemudian memasuki demokrasi terpimpin, dimana politik desa mengalami pasang surut.

Semasa orde baru politik desa mengalami kevakuman akibat politik masa mengambang (floating mass), yang menyebabkan terjadinya depolitisasi di tingkat desa. Dimana birokrasi desa menyadi alat kontrol masyarakat desa oleh penguasa yang hanya menjadikan Golkar partai yang mendapat dukungan oleh masyarakat desa. Adapun LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD, KUD dan lain-lainnya lebih banyak diinisiatifi oleh aparatur pemerintahan desa dari pada masyarakat sendiri, karena dalam Orde Baru lembaga-lembaga tersebut lebih merupakan kepanjangan tangan dari penguasa yang sangat sentralistik dan pro penguasa. Dalam perkembangan kemudian memang ada kelebihan yang sangat signifikan dari orde baru secara gelobal pada tingkat ekonomi, dimana fokus yang dikembangkan adalah bidang ekonomi dan stabilitas Collim Mc Andrew (1995).

Selama masa reformasi (1998) politik desa mengalami penguatan kembali sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dengan diberalakukannya UU nomor 22 tahun 1999. Dalam UU itu juga mnegatur adanya mekanisme politik di desa yang dikenal dengan “parlemen desa” sebagai wakil rakyat dalam mengatur tata kehidupan masyarakat desa dan pemerintahan desa.

Secara umum bagaimanapun desa tetap mengalami proses demokrasi, walaupun dihadapkan dengan banyak faktor yang menghambat. Hal ini tidak mengurangi dimana desa tetap menjadi institusi yang berpeluang untuk membangun demokrasi politik di Indonesia.



Daftar Pustaka

• Anvlop, Hans, Kepemimpinan Jawa, yayasan obor, Jakarta 2001.

• Andrews Collin Mac dan Muhaimim, Yahya, Masalah-masalah pembangunan politik, Gajah mada university press. 1995.

• Mashad, Dhurorudin, Korupsi Politik Pasca Orde baru, Cides,1999.

• Nasir, Muhammad, Membangun Masyarakat Desa, Makalah, 2002.

• Soekito, Wiratmo, Masyarakat Pluralis DiPersimpangan Jalan, Prisma, LP3ES, No 4/1979.

• Sosialismanto, Duta, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Lapera,Yogyakarta, 2001.

• Suhartono,DKK, Politik Lokal: Parlemen Desa, awal kemerdekaan sampai Jalam Orde baru, Lapera, Edisi II 2001.

• Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah.