Senin, 30 Juni 2014

Tradisi Pembinaan Bhayangkara 68 Tahun 2014; Harapan dan Prilaku


DR. Muhammad Nasir, M.Si

Negara demokrasi melihat polisi pada dua sisi yang berlawanan. Dalam kontek demokrasi politik polisi diabaikan dan berada diluar politik, karena polisi adalah professional. Jangan campur aduk antara tugas polisi dan politik. Namun disisi lain polisi selalu menjadi bahan ojok-ojokan ketika pristiwa politik yang berseberangan antara pihak pengusa dan oposisi, lalu dimana polisi.
Saat ini, di hari peringatan ke 68 dalam Tradisi Pembinaan Bhayangkara tahun 2014 polisi harus berada dalam ranah yang sebenarnya. Posisi polisi bukan politik dan bukan alat kekuasaan yang selalu menarik-narik polisi di dalam ranah politik. Sejatinya betul bahwa polisi merupakan satuan dibawah kepemimpinan penguasa politik yaitu Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yaitu Presiden Republik Indonesia.
Tetapi yang perlu diingat polisi dalam Negara demokrasi, harus berada diranah professional yang bekerja sesuai tugas pokok fungsi dan peran yang menafikan kekuasaan ditengah konflik politik yang terjadi. Saat ini, saat peringatan hari Tradisi Pembinaan Bhayangkara 1 Juli 2014 yang ke 68 adalah bertepatan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 9 Juli 2014.
Polisi merupakan harapan besar dari masyarakat dan seluruh bangsa Indonesia yang harus menatap bangsa Indonesia harus maju dan membuang egoisme pribadi dan kepentingan politik pragmatis. Karena polisi akan menjadi benteng terakhir untuk membuat sebuah konflik politik menjadi terang benderang, siapa yang melanggar konstitusi dan siapa yang dijadikan tersangka secara berkeadilan.

Harapan Indonesia Maju
            Indonesia adalah Negara besar, dan banyak Negara lain takut kebesaran Indonesia diikuti dengan kemajuan dan kemampuan bangsanya melebihi bangsa lain. Rasa takut dalam territorial dan hubungan antar bangsa adalah kekerdilan dalam  memandang, namun dalam politik keberhasilan sebuah bangsa akan menjadi ancaman bagi bangsa itu. Faktornya adalah bahwa bangsa tersebut akan menjadi pesaing dan ancaman yang dapat mengalahkan kredibilitas bangsa lainnya. Apalagi Indonesia mempunyai kekayaan alam dan sumber daya yang cukup banyak, akankah tikus mati dilumbung padi.
            Polisi adalah garda terdepan dalam upaya membangun bangsa Indonesia. Apakah ekonomi akan berjalan dengan lancer tanpa keamanan yang kondusif, apakah politik akan kondusif bila pelanggaran dan tindak pidana tidak diberi hukuman yang berkeadilan, apakah pendidikan akan berjalan linier ketika polisi tidak lagi adil  menjalankan tugasnya, dan masih banyak lagi. Polisi menjadi hope yang tidak pernah habis. Karena dipundakmu dan ditangan polisi akan tercipta kemajuan bangsa Indonesia. Karena dengan polisi yang professional kemandirian dan kemajuan bangsa Indonesia akan terwujud.
            Polisi bukan harus disegani, polisi tidak harus ditakuti, polisi bukan untuk dibenci dan polisi bukan untuk di peralat. Karena polisi harus berada di tengah yang seimbang, polisi yang harus mengatakan kebenaran, polisi yang harus berkeadilan dan polisi harus bersifat melayani dengan profesinya yang luhur dan mulia.

Prilaku Seorang Polisi Yang Harus Dibenahi
            Pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” memang sudah didengar dan diketahui oleh public. Tetapi yang harus diingat apakah kita (semua) mampu mengambil hikmah dari pepatah itu dengan prilaku yang baik. Mudah melihat perilaku orang, tetapi sulit mengakui kesalahan diri sendiri.
            Polisi adalah manusia biasa, itu fakta yang benar. Namun tugas polisi adalah malaikat yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perayaan Tradisi Pembinaan Bhayangkara ke 68 tahun 2014 harusnya mulai berkaca dan menata hati. Karena polisi selalu dilihat dengan uniformnya dan dilihat fungsinya yang melekat pada dirinya dalam bergaul maupun dalam berprilaku.
            Keberanian polisi mentransparankan posisinya adalah sebuah kepahlawanan yang sejati. Banyak terlihat di tengah masyarakat polisi-polisi yang berprilaku diluar batas wajar seorang polisi, baik dalam ekonomi, politik maupun dalam bersikap sosial. Aneh…. Tapi itu fakta.
            Berkacalah Polisi Indonesia dengan cermin yang bersih, agar terlihat bintik dan cercah yang putih. Lakukan perubahan Polisi Indonesia mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil dan mulai dari diri sendiri. Polisiku karena engkau akan menjadi bagian dalam goresan sejarah pembangunan Indonesia akan dating.
Majulah polisi dengan keadilan
Majulah polisi dengan prilaku yang baik.



Minggu, 15 Juni 2014

Polisi Profesi dan Pengabdian


Dr. Muhammad Nasir, M.Si

Polisi. Sebagai sebutan atau sebuah nama, “mungkinkah” orang tidak mengenal sebutan atau nama tersebut. Polisi, baik itu sebutan kepada lembaga ataupun orangnya mulai dari anak kecil hingga orang jompo akan mengerti dan mengenal sebutan polisi tersebut. Tapi apa yang dipahami tentang polisi. Tidak semua orang memahami polisi dengan sebenarnya. Hanya dilihat dari dua sisi polisi baik dan polisi buruk, itulah fakta empiric ditengah masyarakat.
            Pada saat masih kecil seusia balita, ketika anak susah makan, anak yang nakal (aktif) atau bahkan anak yang menangis berkepanjangan selalu menyebut polisi untuk menghentikannya. “awas ada polisi, ayoo makan,” “jangan nakal” atau “sudah berhenti nangisnya, nanti ada polisi lho”. Ucapan dan ungkapan tersebut tidak bisa dilupakan karena hal tersebut terjadi berulang dari generasi ke generasi berikutnya, dan mungkin hingga hari ini. Lalu apa yang dipahami dengan “polisi” itu sendiri.
            Kekinian mungkin sudah mulai berkurang kalimat tersebut terlontar dari masyarakat, karena gencarnya polisi memperbaiki diri dan sosialisasi ke masyarakat tentang polisi dengan fungsi dan peran yang sebenarnya. Namun memang itu belum cukup dan mampu memberi pemahaman kepada warga masyarakat secara komprehensif, karena polisi mempunyai banyak pengalaman dan asam garamnya dalam dinamika organisasi yang telah di jalaninya. Polisi sebagai sebuah Instansi Pemerintah memang mempunyai peran yang penting dan menjadi icon dalam eksistensi sebuah Negara.
            Sebagai Instansi Pemerintah polisi selalu menjadi bagian dalam perubahan system pemerintahan. Karena untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam implementasinya selalu dilibatkan sebagai control social, apakah kebijakan tersebut sampai ke tengah masyarakat dalam implementasinya. Perubahan system pemerintahan yang terjadi ketika masa Orde Baru berganti dalam transisi pemerintahan Indonesia dari Orde Baru ke pemerintahan Reformasi tahun 1999 pasa masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid eksistensi polisi yang semula berada di dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berubah menjadi independen sesuai dengan fungsi dan perannya. Hal tersebut ditandai dengan terbitnya Ketetapan MPR RI Nomor VI tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI. Dengan dasar itulah yang kemudian terbit tentang  Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89/2000 tertanggal 1 Juli 2000 tentang pemisahan Polri dari militer dan berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Yang kemudian di susul dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dengan terbitnya paying hukum tersebut polisi harus menyiapkan diri baik perubahan structural, kultural dan instrumental untuk menjaga fungsi dan perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di samping tiu polisi juga harus melakukan pengawalan terhadap situasi masyarakat dari berbagai kebijakan pemerintah. Oleh karenanya seketika itu juga maka polisi menjadi garda terdepan yang digunakan dalam pengawal kebijakan Negara, baik dalam kebijakan yang popular maupun sebaliknya karena menyangkut situasi masyakat yang menjadi obyek dalam kebijakan tersebut. System pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa atau pimpinan negara dalam berbagai kebijakannya selalu tidak diiringi dengan implementasi yang menimbulkan kebaikan maupun konflik dari kebijakan tersebut. Oleh karenanya maka kealfaan tersebut akan menjadi bagian situasi masyarakat dalam tugas polisi di tengah masyarakat.
            Sebuah momen dijalan mungkin sering dilihat sebagai sebuah gambaran pemerinah dengan melihat sosok polisi di lapangan. Polisi yang tergelar di lapangan dalam melakukan penjagaan dan pengamanan khususnya yang berseragam tentu sangat tampak dan berbeda dengan masyarakat secara umum. Pertama melihat dengan seragam yang dikenakan sangat mencolok dan berbeda dengan masyarakat lainnya, karena ada symbol-simbol lain yang dikenakan sebagai petugas polisi. Begitu juga terkait dengan posisi polisi dalam melakukan penjagaan dan pengamanan selalu berada ditempat yang terbuka dan membawa atribut dan perlengkapannya. Karena dalam penjagaan dan pengamanan selalu ada ancaman yang mengarah pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
            Dalam tempat yang berbeda polisi juga melakukan tindakan kepolisian yang berupa penegakkan hukum. Dalam penegakkan hukum selalu disertai dengan penangkapan[1] seseorang yang diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup[2] sebagai pelaku tindak pidana. Tindakan polisi dalam penegakkan hukum mempunyai dua aspek yang merugikan dan menguntungkan bagi masyarakat. Sebagai pelapor atau korban tindak pidana selalu berharap pelaku tindak pidana dapat segera ditangkap dan diadili dengan hukuman yang seberat-beratnya. Secara manusiawi dalam lingkungan masyarakat keinginan tersebut tidak berlebihan dan sangat mendukung penangkapan pelaku tindak pidana tersebut. Kegiatan-kegiatan dalam tindakan polisi dalam melakukan penegakkan hukum mulai dari penangkapan, penggeledahan dan penyitaan menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan hubungan kausalitas dari pihak korban dan tersangka[3]. Karena memang membwa dampak dan dua sisi yang saling berlawanan, sehingga memerlukan pemahaman yang komprehensif dan kesadaran hukum bagi masyarakat.
            Tetapi disisi lain keluarga pelaku tindak pidana (tersangka) selalu mengecam tindakan yang dilakukan polisi tersebut. Karena dianggap penangakapan tersebut menciderai dan melukai hati keluarga tersangka. Apalagi dikaitkan dengan ekonomi. Karena dianggap pelaku tindak pidana sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, untuk menafkahi istri anak dan bahkan biaya pendidikan dan lain sebagainya. Dengan kondisi tersebut dua sisi berlawanan dalam pelayanan masyarakat yang harus dilakukan dengan bijak oleh seorang polisi yang memerlukan perlakukan yang harus mengayomi dua sisi yang saling berlawanan.        
Memang tidak mudah menggambarkan sosok polisi dengan sudut pandang melihat polisi. Dari sudut masyarakat secara umum polisi adalah pelayan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban ditengah masyarakat. Bagi kelompok masyarakat yang melihat polisi dari keluarga korban tindak pidana, maka akan menilai polisi dari menangkap tersangka yang melakukan pidana terhadap orang tersebut. Sedangkan dari sudut pandang kelompok tersangka maka memandang polisi sebagai musuh yang harus dimusnahkan.
            Dari beragam pandangan tersebut, tentu polisi dilihat secara subyektif, siapa dan dari mana mereka menilai sosok polisi. Secara profesionalitas sebagaimana tugas pokok fungsi dan peran keberadaan polisi harus dapat memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat serta tindakan penegakkan hukum. Secara ungkapan memang hanya empat point sebagai kata kunci perlindungan, pengayoman, pelayanan dan penegakkan hukum. Esensi dari empat kata kunci tersebut bukan semudah membalikan tangan, karena mempunyai artikulasi yang sangat luar dan memerlukan pemahaman secara structural, kultural dan kekinian. Mungkin dulu semasa polisi dalam pemerintahan yang otoriter masa Orde Baru mudah menekan kondisi masyarakat dengan kekuatan senjata dan otoritas kekuasaan. Tapi kondisi tersebut bukan sebuah kinerja yang tepat untuk saat ini. Perlu berbagai metode dan strategi dalam menjalan fungsi kepolisian dengan baik dan optimal.



[1] UU nomor 8 Tahun 1981, pasal 1 (20) Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
[2] Penjelasan UU nomor 8 Tahun 1981, Pasal 17 Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betu-betul melakukan tindak pidana
[3] UU no 8 Tahun 1981, pasal 1 (14) Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.