Pendahuluan
Dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia, desa memiliki dinamika peran sejarah tersendiri karena sebelum bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pun, desa telah menjadi suatu institusi politik yang kuat. Sebutan desa (Suhartono,2000 hal 9) mulanya hanya dikenal dalam masyarakat Jawa, sementara misalnya di Bali dikenal dengan dusun, Marga di Sumatera selatan, nagari (sumatra), huta (batak) dll. Tetapi apapun istilah yang digunakan, tetapi desa secara sosiologis mengandung makna kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal yang homogen, tergantung pada alam dan berada diluar kota atau pedalaman dalam entitas tertentu.
Tulisan ini akan mencoba mengetengahkan bagaimana perkembangan politik desa mulai dari masa awal kemerdekaan, perkembangan politik desa selama Orde baru dan perubahan-perubahannya selama reformasi tahun 1998. Disamping penulis akan mengaitkan dengan politisasi dan depolitisasi desa khususnya selama kepemimpinan Orde Baru.
Munculnya Politik Desa
Politik desa mengalami pasang surut ditengah pergulatan mencari identitas Republik ini. Era feodalisme dijaman raja-raja pra kolonial politik desa sangat diwarnai oleh dominasi para tuan tanah yang kemudian menjadi elit di pedesaan (Suzzan K. 1998), sehingga masyarakat desa hanya dimobilisasi untuk kepentingan tenaga kerja, dan raja (para tuan tanah) itu menjadi pemilik dan pengatur kehidupan masyarakat desa. Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat desa pun harus menerima kenyataan penjajah bangsa Eropa (Belanda) yang disamping pengeksploitasi desa, mengambil alih kepemilikan atas tanah ulayat masyarakat desa sampai pada memaksa untuk menjadi buruh kepada belanda dengan sistem Tanam Paksa (Hans Anlof (2001) dan Suhartono, Opcit). Masuknya penjajah merupakan kelanjutan dari depolitisasi masyarakat desa karena antara kaum penjajah dengan para raja melakukan kerjasama politik untuk menundukan masyarakat desa.
Menariknya, meskipun ditengah kengkraman feodalisme raja dan penjajah desa tetap berkembang menjadi desa yang demokratis. Adalah Hatta (dalam Suhartono) menilai bahwa desa mengandung ciri-ciri sebagai masyarakat yang demokratis yakni adanya rapat desa (tempat dimana rakyat bermusyarawah dan bermufakat), adanya hak-hak untuk mengadakan protes dan mulai adanya kesadaran untuk melakukan tolong menolong diantara sesamannya. Kondisi itu mungkin dapat meruntuhkan argumentasi rasionalitas politik barat bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dalam iklim politik yang demokratis (tanpa sistem feodalisme dan kolonialisme) argumentasi universalitas demokrasi yang dipandang barat lahir dalam kondisi dimana kebebasan dijamin oleh konstitusi yang juga ditandai dengan persamaan kedudukan dimuka hukum dan adanya perbedaan dapat terbantahkan oleh suatu kenyataan politik desa yang dapat mengembangkan demokrasi di atas tekanan (kengkraman) atas kebebasan dan persamaan derajat (Nasir,2002).
Konstatasi di atas menjadi wacana awal ketika membahas bagaimana perubahan-perubahan politik dipedesaan dari masa ke masa setelah kita mencapai kemerdekaan, lima puluh lima tahun silam.
Politik Desa Masa Kemerdekaan
Keberhasilan para pendiri negara merebut kemerdekaan tahun 1945, tentunya membawa perubahan penting dalam politik pedesaan. Karena berarti bahwa kemerdekaan yang terpenting adalah kemerdekaan dibidang politik. Partai-partai politik di pedesaan berusaha membangun politik desa dengan pertama-tama menghilangkan nilai-nilai kolonialisme khususnya sistem ekonomi kapitalisme di desa akibat pengaruh kolonial. Dalam catanan (Sosialismanto, 2001, hal 4 ) misalnya pada tahun 1957, setelah sengketa Irian Jaya Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia.
Pembangunan politik desa tentu diperlukan persiapan yang matang, salah satunya adalah bagaimana menyiapkan sistem ekonomi kerakyatan (pertanian) sebagai basis utama demokrasi politik di desa. Ada dua paradigma dalam pengembangan sistem politik di Indonesia, yang pertama indonesia baru saja memasuki dunia yang lepas dari kengkraman kolonial yang ingin menata dan mengambil alih struktur kekuasaan dari tangan penjajah dan yang kedua adalah bahwa menjalankan demokratisasi yang merupakan reslisasi dari kemerdekaan (Suhartono, 2001). Hal ini membuat suatu kegelisahan dimana bangsa ini sangat mendambakan suatu sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan rakyatnya dan disisi lain kita juga terbentur dengan kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Parlemen desa yang merupakan tempat kekuatan masyarakat dan berkumpul di tingkat grass root sangat mengharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat secara komprehensip untuk menjamin adanya pemerintahan yang demokratis.
Parlemen desa adalah organisasi politik yang mulai dikenal sangat masif oleh masyarakat desa. Perkembangan politik masyarakat desa di Jawa jaman kemerdekaan merupakan ideologi komunal dari pada ideologi rasional tetapi bila dilihat dalam aspek pendidikan politik sudah mengalami kemajuan, apalagi sebelumnya demokrasi sudah sangat membudaya dalam masyarakat kita. Sosialismanto (ibid) melihat dari sudut analisis ekonomi politik, peranan desa sebagai organisasi kekuasaan telah mengalami pergeseran peranan, berbeda dengan desa masa kolonial yang eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alamnya. Desa masa orde lama telah memperkenalkan dunia politik (politisasi) yang bergerak pada masyarakat desa. Munculnya politisasi disatu sisi berakibat pada disharmonisasi kehidupan pedesaan yang harmonis, komunalis dan ikatan sosial yang kuat.
Pada pertengahan 1965 ideologi nasional berkembang di desa dengan pendekatan ideologi yang bersifat komunalistik. Apalagi setelah masuknya PKI dipedesaan dengan ideologi politik yang membela kaum tani desa memicu konfliks-konfliks politik di desa. Politik pedesaan masa demokrasi terpimpin akhir Orde lama memperlihatkan adanya ketidakstabilan politik di akar rumput. Dan bahkan pada saat Sukarno mengenalkan idiologi Nasakom (nasionalis, agama dan Komunis), Partai Komunis Indonesia telah mendominasi kekuatan politik di pedesaan dengan basis politik pertanian (Suhartono, 2001).
Hal itu menunjukkan bahwa masuknya politik di desa menyebabkan masalah baru dalam masyarakat desa. Identitas kultural desa menjadi berubah seperti dalam kehidupan masyarakat perkotaan.
Suasana politik desa sangat dipengaruhi oleh realitas politik demokrasi terpimpin (guided democracy) yang mengedepankan praktek politik utopis dimana konsepsi demokrasi terpimpin tidak dapat membantu demokratisasi di wilayah pedesaan. Pergolakan politik pertama tahun 1955 yang demokratis membuat adanya partisipasi politik desa yang lebih menonjol dari pada sebelumnya, Desa yang semula tidak menjadi panggung politik sebagai akibat demokratisasi 1955 menjadi panggung politik penting. Indikator ini bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, berlangsungnya partisipasi warga negara, kedua, terjadinya polarisasi dan friksi politik desa.
Politik Desa Masa Orde Baru
Munculnya era Orde baru di bawah Presiden Soeharto segera setelah duketa PKI yang gagal dalam mengganti idiologi dalam perebutan kekuasaan negara, memunculkan adanya pemikiran untuk kembali kepada semangat UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam tesis kekuasaan Soeharto bahwa penyelewengan kepada semangat UUD 1945 dan Pancasila sesebabkan oleh paradigma pembangunan yang lebih menonjolkan kebebasan politik warga negara. Oleh karena itu Orde baru menerapkan strategis stabilitas politik dan pertumbuhan (ekonomi). Dalam konteks politik Soeharto menjadikan masyarakat desa sebagai masyarakat yang diambangkan (floating mass). Hal itu berpengaruh penting pada perubahan masyarakat desa yang semula berproses melalui pendekatan politik berubah menjadi birokrat desa. Sistem pemerintah desa berubah menjadi media birokrasi pedesaan negara Orde baru. Duta Sosialismanto mengemukakan bahwa:
Pilihan yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru untuk melakukan modernisasi di Indonesia adalah menempatkan pembangunan politik sebagai subordinat dari pembangunan ekonomi. Pengalaman pahit pada masa demokrasi liberal menunjukkan bahwa stabilitas politik merupakan syarat mutlak bagi adanya pemerintahan yang stabil yang cukup mempunyai waktu untuk merealisasikan program-program. Bukti masyarakat desa sebagai floating mass dalam pemilihan umum”
Kuntowijoyo (dalam Duta S:2001) menulis bahwa gabungan kekuatan sejarah tertentu masyarakat desa kembali kepada “kawula” masyarakat desa harus belajar dari awal dalam kondisi sosial ekonomi yang baru, sebelum mereka sungguh-sungguh memasuki tahap demokrasi. Sementara itu diferensiasi sosial yang sudah terjadi dipedesaan sudah lama berjalan tanpa henti-hentinya. Disamping muncul faktor-faktor integratif tetapi juga semakin memudarnya nilai-nilai demokrasi asli desa seperti gotong royong, musyawarah mufakat untuk memutuskan suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum (masyarakat desa).
Dinamika pembangunan Orde baru yang tengah mengejar ketertinggalan dalam sektor ekonomi (dalam perspektif pertumbuhan Orde baru) menggeser dinamika masyarakat desa dari politik ke ekonomi. Istitusi politik desa yang sebelumnya kuat dengan konfigurasi politk desanya berubah menjadi lembaga-lembaga seperti Koperasi Unit Desa (KUD). Institusi ini bukan saja berfungsi untuk melakukan monopoli hasil-hasil pertanian di desa tetapi juga menggeser tradisi dari pertanian tradisional (barter) menjadi ekonomi pertanian modern. Sehingga jangan heran kemudian muncul semacam kapitalisme masyarakat desa. Struktur elite desa (tuan tanah) berubah menjadi elite baru (birokrat desa) yang loyal terhadap negara orde baru.
Dalam bidang pemerintah mulai juga berubah dimana muncul kooptasi negara terhadap desa, kelembagaan birokrasi negara segera masuk dan berkembang di desa. Seluruh Indonesia diterapkan dengan pendekatan struktur top down yang disamaratakan sehingga menghilangkan identitas desa atau nagari atau sebutan yang lainnya. Birokrasi masuk desa semacam ini membawa dampak masa mengambang di desa. Birokratisasi desa yang merupakan bagian dari Golkar disatu sisi, dan sementara itu, partai politik (PDI dan PPP) tidak diperbolehkan sampai pada masyarakat desa.
Sehingga sebetulnya selama Orde baru berkuasa masyarakat desa mengalami kemandekan pertumbuhan dibidang politik karena saluran aspirasi politiknya sama-sekali tidak diberikan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat desa sebagai masyarakat mayoritas di negeri agraris ini hanyalah menjadi sumber legitimasi politik kekuasan Orde baru, dalam pemilu Orde baru yang penuh dengan rekayasa.
Dampak lain dari kebijakan politik masa mengambang Orde baru adalah nampak pada munculnya mental fatique (sikap apolitis) sehingga masyarakat desa sangat apolitis dalam kehidupan politik dan bahkan mereka mengalami trauma sekali. Lembaga-lembaga masyarakat desa seperti LMD dan LKMD bahkan organisasi untuk kepentingan petani desa seperti forum tani dan lain-lain. Inisiatif pembentukannya lebih banyak dipengaruhi oleh peran birokrasi tingkat desa pada atas dasar musyawarah dan mufakat masyarakat desa sendiri.
UU nomor 5 tahun 1979 dinilai para ahli politik seperti Donald K Emerson sebagai intervensi negara terhadap masyarakat, konstitusi nomor 5 itu adalah awal dari politisasi negara. Konsepsi desa juga dianggap sebagai model penyeragaman politik (political uniform) pemerintah terhadap masyarakat Indonesia yang pluralistik S. Wiratno (1979) melihat desa masa orde baru sebagai berikut:
1. Adanya pemisahan antara kelurahan dengan desa yang otonom.
2. Secara nasional pemerintah terrendah di desa dipegang oleh pegawai negeri.
3. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa.
4. Pengukuhan kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa.
5. Penyeragaman struktur organisasi pemerintah desa.
Karena itulah berarti bahwa posisi masyarakat desa menjadi dependent society (masyarakat bergantung) dari pada independent society (masyarakat yang independen) dimana peran negara desa begitu sentral dalam proses pengambilan keputusan di desa.
Perkembangan Muktahir Politik desa era reformasi
Terjadinya pergantian dari Orde baru kepada Orde reformasi sejak 1998 telah menyebabkan kemunculan kembali kekuatan-kekuatan politik desa. Masyarakat desa mengalami proses partisipasi politik yang termobilisasi oleh faktor birokrasi pemerintah desa. Meskipun, dinamika politik pasca Orde baru itu lebih bersifat “democrazy” (kebebasan yang anarkis) tetapi yang paling penting adalah ketika dimunculkannya perubahan paradigma pembangunan dari orientasi struktural birokrasi sentralistik berubah menjadi sistem birokrasi desentralistik. Adanya kebijakan otonomi daerah melalui UU /22/1999 lalu menegaskan tentang pentingnya penguatan masyarakat ditingkat akar rumput (masyarakat pedesaan).
Kelahiran Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai turunan dari konstitusi otonomi itu harus dilihat sebagai peluang strategis membangun desa kembali. Sebagai parlemen desa, BPD memang belum memiliki kerangka teknis dari pemerintah daerah. Tetapi justru disitulah kelihatan betapa pentingnya peran masyarakat dalam merumuskan kebijakan politik desa termasuk melibatkan diri dalam suksesi kepala desa secara demokratis.
BPD sebagai institusi baru ditengah masyarakat yang mengalami kemandekan peran secara politik adalah suatu yang tidak gampang untuk sampai kepada konsepsi yang ideal yakni BPD sebagai mitra kritis pemerintah desa dan sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat di desa. Bagaimana pun proses perubahan politik desa masa reformasi yang baru berjalan empat tahun lebih ini sebagai embrio dimana partisipasi masyarakat desa yang otonom itu dapat segera terwujud menjadi kenyataan.
Upaya pendahuluan tentunya harus dimulai dengan mengembangkan kesadaran politik desa dengan beberapa cara. Pertama, melakukan revitalisasi terhadap budaya demokrasi yang sempat terabaikan khususnya selama massa Orde baru yang tentunya dengan pendekatan dialogis dan partisipatoris. Kedua, memperkuat ekonomi masyarakat berbasis sistem pertanian neomodernisme (mengolah pertanian dengan memadukan antara sistem tradisional dengan tekhnologi modern). Dengan kuatnya ekonomi masyarakat, maka akan dapat memperkuat partisipasi politik masyarakat secara otonom. Ketiga, melakukan proses sosialisasi yang intens tentang otonomi daerah yang disertai dengan pembentukan wadah-wadah penyangga demokratisasi desa diluar parlemen seperti forum alternatif yang menjadi pengawal parlemen desa maupun pemerintahan desa.
Bila upaya-upaya strategis itu dapat dilakukan, maka akan sangat pemantu kearah pembangunan politik desa yang bersifat berkelanjutan. Demokrasi bukan berarti tinggal mengadopsi seperti apa yang diterapkan dalam masyarakat demokratis barat tetapi dapat berupa suatu sistem demokrasi yang bersifat local genius artinya akar demokrasi lahir dari tradisi sosial budaya masyarakat desa di Indonesia. Demokrasi terpimpin, liberal dan pancasila telah mengalami kegagalan tetapi demokrasi desa merupakan harapan ditengah transisi menuju demokrasi yang sedang mngecewakan masyarakat Indonesia dewasa ini.
Kelebihan dan Kekurangan
Desa di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam waktu yang sangat panjang, sehingga meskipun diterapkan sistem feodalisme atau kepempinpinan yang otoriter, tetapi tidak serta merta merubah budaya politik yang demokratis, karena budaya ini telah berkembang lebih awal sejak jaman raja-raja walaupun dalam kepemimpinan-kepemimpinan di Jawa Anlov mengatakan para tuan-tuan tanah sangat bersikap otoriter. Diawal orde lama politik desa mengalami masa kejayaan seiring dengan sistim politik yang Pluralistik sebelum kemudian memasuki demokrasi terpimpin, dimana politik desa mengalami pasang surut.
Semasa orde baru politik desa mengalami kevakuman akibat politik masa mengambang (floating mass), yang menyebabkan terjadinya depolitisasi di tingkat desa. Dimana birokrasi desa menyadi alat kontrol masyarakat desa oleh penguasa yang hanya menjadikan Golkar partai yang mendapat dukungan oleh masyarakat desa. Adapun LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD, KUD dan lain-lainnya lebih banyak diinisiatifi oleh aparatur pemerintahan desa dari pada masyarakat sendiri, karena dalam Orde Baru lembaga-lembaga tersebut lebih merupakan kepanjangan tangan dari penguasa yang sangat sentralistik dan pro penguasa. Dalam perkembangan kemudian memang ada kelebihan yang sangat signifikan dari orde baru secara gelobal pada tingkat ekonomi, dimana fokus yang dikembangkan adalah bidang ekonomi dan stabilitas Collim Mc Andrew (1995).
Selama masa reformasi (1998) politik desa mengalami penguatan kembali sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dengan diberalakukannya UU nomor 22 tahun 1999. Dalam UU itu juga mnegatur adanya mekanisme politik di desa yang dikenal dengan “parlemen desa” sebagai wakil rakyat dalam mengatur tata kehidupan masyarakat desa dan pemerintahan desa.
Secara umum bagaimanapun desa tetap mengalami proses demokrasi, walaupun dihadapkan dengan banyak faktor yang menghambat. Hal ini tidak mengurangi dimana desa tetap menjadi institusi yang berpeluang untuk membangun demokrasi politik di Indonesia.
Daftar Pustaka
• Anvlop, Hans, Kepemimpinan Jawa, yayasan obor, Jakarta 2001.
• Andrews Collin Mac dan Muhaimim, Yahya, Masalah-masalah pembangunan politik, Gajah mada university press. 1995.
• Mashad, Dhurorudin, Korupsi Politik Pasca Orde baru, Cides,1999.
• Nasir, Muhammad, Membangun Masyarakat Desa, Makalah, 2002.
• Soekito, Wiratmo, Masyarakat Pluralis DiPersimpangan Jalan, Prisma, LP3ES, No 4/1979.
• Sosialismanto, Duta, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Lapera,Yogyakarta, 2001.
• Suhartono,DKK, Politik Lokal: Parlemen Desa, awal kemerdekaan sampai Jalam Orde baru, Lapera, Edisi II 2001.
• Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah.